Cari Blog Ini

Senin, 05 Desember 2011

Pemecahan Masalah Secara Analitis & Kreatif

Setelah ditunjuk menjadi Pimpinan Eksekutif di Porsche (salah satu produsen mobil terkenal), pada tahun 1992, disaat Porsche sedang menuju jurang kebangkrutan, Wendelin Wiedeking langsung mengajak kelompok Shin-Gijutsu, yang merupakan para ahli teknik yang telah dikader oleh Toyota untuk mengelola dan membenahi sistim yang ada di pabrik Porsche. Dengan bantuan dari para ahli teknik Jepang, waktu untuk melakukan perakitan berhasil diturunkan dari 120 jam menjadi 72 jam. Jumlah kesalahan pada setiap pembuatan mobil turun 50 % menjadi hanya 3 kesalahan per mobil. Jumlah tenaga kerja menurun sebesar 19 % menjadi 6.800 orang, dari lebih dari 8.400 orang di tahun 1992. Jumlah "line production" telah berhasil diperpendek . Begitu pula dengan jumlah inventori yang telah berkurang, membuat ruang yang digunakan di pabrik menjadi lebih kecil sebesar 30 %. Perubahan-perubahan tersebut di atas telah membuat Porsche berhasil memproduksi mobil dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Dampaknya, pertama kali dalam 4 tahun terakhir, perusahaan melaporkan keuntungan, setelah sebelumnya merugi sebesar 300 Juta Dolar Amerika.
Hal yang menarik yang mungkin ingin kita ketahui dari ilustrasi cerita di atas adalah, cara efektif yang berhasil diterapkan oleh para ahli teknik Jepang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Porsche, dan kemudian merubahnya menjadi sebuah keuntungan. Secara umum yang dilakukan oleh ahli teknik Jepang adalah dengan membentuk kelompok kerja yang berbeda yang menerapkan prinsip-prinsip pemecahan masalah secara ilmiah untuk menganalisa situasi yang terjadi, membuat rencana perbaikan secara kreatif, dan menerapkan rencana perbaikan melalui proses pengawasan kualitas.
Ilustrasi di atas yang dikutip dari tulisan Phillip L Hunsaker tentang Pemecahan Masalah Secara Kreatif (2005) , menunjukkan kepada kita bahwa proses penyelesaian masalah secara efektif akan dapat membantu sebuah organisasi keluar dari kemelut keuangan yang mereka hadapi, dan merubahnya menjadi sebuah kesempatan yang menguntungkan. Tanpa penanganan yang benar saat itu, bukan tidak mungkin Porsche mengalami kebangkrutan total, dan tidak pernah terdengar lagi dalam industri kendaraan bermotor. Peristiwa yang terjadi pada Porshce bukan tidak mungkin terjadi pada organisasi lainnya, organisasi tempat kita bekerja saat ini atau pada diri kita sendiri. Kemampuan kita dalam melakukan pemecahan masalah secara analitis dan kreatif menjadi salah satu kunci agar kita dapat keluar dari masalah yang kita hadapi, dan mencapai kesuksesan dalam bisnis, maupun karir kita.
Adanya kesempatan bagi kita untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi secara analitis dan kreatif menjadi inspirasi bagi saya untuk menjadikan pemecahan masalah secara analitis dan kreatif sebagai bahan tulisan saya kali ini. Mudah-mudahan tulisan ini dapat membantu kita semua agar kita tidak terjebak dalam perangkap yang mengurangi kualitas pemecahan masalah yang kita hasilkan.
Pemecahan Masalah Secara Analitis dan Kreatif
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005). Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.
Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Pekerjaan seorang manajer, secara khusus, merupakan pekerjaan yang mengandung unsur pemecahan masalah di dalamnya. Bila tidak ada masalah di dalam banyak organisasi, mungkin tidak akan muncul kebutuhan untuk mempekerjakan para manajer. Untuk itulah sulit untuk dapat diterima bila seorang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah, menjadi seorang manajer (Whetten & Cameron, 2002).
Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas kepada kita semua bahwa sulit untuk menghindarkan diri kita dari masalah, karena masalah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, baik kehidupan sosial, maupun kehidupan profesional kita. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan masalah menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari tindakan Jump to conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah tanpa melalui proses analisa masalah secara benar, serta didukung oleh bukti-bukti atau informasi yang akurat. Ada kecenderungan bahwa orang-orang, termasuk para manajer mempunyai kecenderungan alamiah untuk memilih solusi pertama yang masuk akal yang muncul dalam benak mereka (March & Simon, 1958; March, 1994; Koopman, Broekhuijsen, & Weirdsma, 1998). Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil seringkali bukanlah solusi terbaik. Secara tipikal, dalam pemecahan masalah, kebanyakan orang menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau kurang memuaskan, dibanding solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten & Cameron, 2002). Pemecahan masalah yang tidak optimal ini, bukan tidak mungkin dapat memunculkan masalah baru yang lebih rumit dibandingkan dengan masalah awal.
Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode yang berbeda, yaitu analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang pemecahan masalah secara analitis dan kreatif, serta perbedaan-perbedaan yang ada diantara keduanya, maka pada bagian berikut , saya akan menjelaskan secara singkat hal tersebut di atas.
I. Pemecahan Masalah Secara Analitis
Metode penyelesaian masalah secara analitis merupakan pendekatan yang cukup terkenal dan digunakan oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari gerakan peningkatan kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima bahwa untuk meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang perlu dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998). Banyak organisasi besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana) menghabiskan jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang metode pemecahan masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan kualitas yang ada di organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002). Pelatihan ini penting agar para manajer dapat berfungsi efektif, yang salah satu cirinya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hunsaker (2005) yang menyatakan bahwa manajer yang efektif, seperti halnya Pemimpin Eksekutif Porsche, Wendelin Wiedeking, mengetahui cara mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang dapat menerangkan tentang masalah yang terjadi, mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu alternatif pemecahan masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi yang dapat terjadi dari sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang bersangkutan.
A. Definisikan Masalah
Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan metode analitis adalah mendefinisikan masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul. Sebagai contoh : Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan staf-nya yang kerapkali tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu yang telah ditentukan. Masalah ini bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari staf yang bersangkutan. Cara kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah gejala dari permasalahan yang lebih mendasar lagi, seperti misalnya masalah kesehatan, moral kerja yang rendah, kurangnya pelatihan atau kurang efektifnya proses kepemimpinan yang ada.
Agar kita dapat memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan suatu masalah, diperlukan upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar masalah dapat didefinisikan dengan tepat.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang baik:
  • Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari persepsi
  • Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi
  • Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat menghindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas
  • Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan yang terjadi.
  • Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan terjadinya masalah.
  • Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh: Masalah yang kita hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.
B. Buat Alternatif Pemecahan Masalah.
Langkah kedua yang perlu kita lakukan adalah membuat alternatif penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat menunda untuk memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan pemecahan masalah (contohnya oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa kualitas solusi-solusi yang dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan berbagai alternatif (Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
  • Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
  • Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
  • Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
  • Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
C. Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah
Langkah ketiga dalam proses pemecahan masalah adalah melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia. Dalam tahap ini , kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot terhadap keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat pilihan akhir. Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah, akan memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan:
  • Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.
  • Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya
  • Tingkat kemungkinan penerapannya
  • Tingkat kesesuaiannya dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi; misalnya budget, kebijakan perusahaan, dll.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baik:
  • Alternatif- alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar yang optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan
  • penilaian terhadap alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis, sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,
  • Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang terlibat didalamnya.
  • Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung
  • Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.
D. Terapkan Solusi dan Tindak- Lanjuti
Langkah terakhir dari metode ini adalah menerapkan dan menindak-lanjuti solusi yang telah diambil. Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, kita perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang efektif:
  • Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.
  • Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi "sedikit-demi sedikit" dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan meningkatkan dukungan.
  • Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan solusi, harus dikomunikasikan , sehingga terjadi proses pertukaran informasi
  • Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen
  • Adanya sistim monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.
  • Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi didasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya.

Memaknai Peristiwa Hidup

"Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it the seed of an equivalent benefit" (Ralp Waldo Emerson).

Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?  

Gagal & Sukses 


Jika kita  mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, "hidden potential events" yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.

Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun;  Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali.   AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak   26 kali dengan asumsi waktu minimal  enam bulan.
Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara  perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia  dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali  terjadi hanya sepersekian persen? 

Menyikapi Kegagalan 


Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:

1.  Membiarkan

Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2.  Menolak

Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.

3.  Menerima

Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas  yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu.  Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing them."

Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take it for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian  faktor  antara lain:

a.  Lingkungan

Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya.  Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.

b.  Sistem Struktural

Selain lingkungan,  faktor  sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama   membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi "the cause" dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai "the effect".

c.  Personal

Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga  peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol "seleksi" dan "pengecualian" dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.

Memaknai Kegagalan 


Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang  dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:

1.  Menciptakan Kondisi

Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini  adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar.  Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2.  Menciptakan Perbedaan

Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam  mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
·                     Sumber daya material: fisik, raga
·                     Sumber daya intelektual: nalar
·                     Sumber daya emosional: sikap perasaan
·                     Sumber daya spiritual: hati, rohani
·                     Sumber daya mental: daya dobrak
·                     Sumber daya visual: imajinasi
·                     Sumber daya verbal: komunikasi
·                     Sumber daya social: relationship
·                     Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin "jump to conclusion" mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3.  Menggunakan Kemampuan Baru

Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan  hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin - ini hanya pengandaian - kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut  yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul  "The Chicken Soup for Soul"  yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen. 

Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.

Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.

Purifikasi Konsentrasi

 Kenapa Konsentrasi itu Penting?

Kalau dijawab dengan menggunakan teori dan praktek yang sudah umum, mungkin penjelasan yang bisa diterima adalah antara lain:

1.  Kecepatan

Kemampuan kita dalam berkonsentarsi akan mempengaruhi kecepatan dalam menangkap materi yang kita butuhkan. Seorang pelajar / mahasiswa yang punya kemampuan bagus dalam berkonsentrasi akan lebih cepat bisa menangkap materi yang seharusnya ia serap. Seorang karyawan yang bisa berkonsentrasi, ia akan cepat menangkap (menguasai) berbagai jenis keahlian yang ia butuhkan. Seorang olahragawan yang bisa berkonsentrasi dengan bagus akan lebih cepat dalam menguasi tehnik-tehnik dan jurus-jurus yang ia butuhkan untuk menjadi bintang. Saking pentingnya konsentrasi ini, Kurt Vonnegut pernah menulis begini: "The secret to success in any human endeavor is total concentration".

2.  Kekuatan

Konsentrasi, adalah sumber kekuatan. Apa hubungannya antara konsentrasi dengan kekuatan? Satu dari sekian penjelasan yang bisa menggambarkannya itu adalah cara kerja pikiran. Konon, pikiran kita akan bekerja berdasarkan "ingat" dan "lupa". Pikiran kita tidak bisa bekerja untuk lupa dan untuk ingat dalam satu waktu. Lupa dan ingat akan dilakukan secara bergantian dalam tingkat kecepatan yang sangat maha super. Kalau anda ingat kebaikan orang, saat itu juga kita melupakan kejelekannya. Sebaliknya, kalau kita mengingat kejelekannya, maka saat itu juga kita melupakan kebaikannya. Teori Neouroscience-nya mengatakan bahwa otak manusia ini berubah sesuai dengan penggunaan. Kemana kita mengarahkan konsentrasi akan diikuti dengan perubahan struktur fisik otak  itu (Neuroscience, Funderstanding, 1998-2001)

Kaitannya dengan katahanan seseorang terletak pada porsi dan frekuensinya. Kalau pikiran ini lebih sering kita gunakan untuk mengingat atau melihat hal-hal positif dari diri kita, dari keadaan dan dari orang lain di sekitar kita, maka kesimpulan yang tercetak di dalam diri kita adalah kesimpulan positif. Kalau sudah kesimpulan ini yang terbentuk, maka energi yang muncul adalah energi positif. Kekuatan dalam menghadapi kerasnya kenyataan hidup ini terkait dengan energi positif. Berdasarkan pengalamannya, Bruce Lee menyimpulkan bahwa seorang jagoan itu sebenarnya adalah manusia biasa. Bedanya adalah kemampuannya dalam menggunakan konsentrasi seperti sinar laser.

Contoh yang dekat itu misalnya kita gagal, entah itu gagal masuk UMPTN atau gagal masuk kerja. Jika yang kita ingat dan yang kita lihat adalah sisi-sisi yang mengecewakan dari kegagalan itu dan dari keadaan itu, maka sekuat apapun fisik kita pasti akan terasa berat untuk melangkah ke opsi lain.  Akan beda rasanya ketika kita masih bisa melihat opsi dan alternatif lain atau bisa mengingat-ingat tujuan hidup kita dalam potret yang lebih besar (perspektif jangka panjang).

Meski kegagalan itu tetaplah kegagalan, tetapi energi yang keluar dari diri kita berbeda. Yang satu menambah kekuatan dan yang satunya malah mengurangi kekuatan. Untuk bisa mengingat yang positif, untuk bisa cepat melupakan hal yang negatif, dan untuk bisa melihat yang positif, tentu ini terkait dengan kemampuan berkonsentrasi. Mahatma Gandhi menggunakan teknik "ingat" dan "lupa" untuk memperkuat perjuangannya. Ketika dirinya hampir mau putus asa menghadapi penjajahan, Gandhi kemudian memprogram pikirannya untuk ingat bahwa perjuangan menegakkan kebenaran itu selalu akan berakhir menang meski kelihatannya kalah di babak awal.

Dengan kata lain, ketahanan seseorang itu tidak semata-mata terkait dengan kekuatan fisiknya. Bukti-bukti yang ada lebih sering menunjukkan bahwa ketahanan itu terkait dengan kemana seseorang memfokuskan konsentrasinya. Konsentrasi, karena itu disebut sumber kekuatan. Kalau anda melihat kesulitan sebagai sebagai kesulitan, ini rasanya seperti bara api. Tapi kalau kita melihat kesulitan sebagai rangkaian yang terpisahkan dari tujuan yang kita inginkan, ini rasa-batinnya akan beda. Kesulitan di sini kita anggap sebagai tantangan (challenge), bukan sebagai tekanan (pressure and tense).

3.  Keseimbangan

Semakin bagus kemampuan Anda dalam berkonsentrasi, maka semakin cepat Anda bisa menangkap signal dari dalam diri tentang apa yang kurang, apa yang kebablasan, apa yang perlu dilakukan atau apa yang perlu dihindari, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dengan ini semua maka hidup kita cepat seimbang atau stabil.  Sopir yang punya kemampuan berkonsentrasi bagus akan tajam sensitivitasnya. Kalau membaca penjelasan para ahli seputar Kecerdasan Multiple (Multiple Intelligence), konsentrasi ini terkait dengan apa yang mereka sebut dengan istilah Intra-personal intelligence, yaitu: kemampuan seseorang untuk bisa "connect" dengan dirinya (Seven Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, David Lazear. 1991).

Temuan di bidang olahraga (Calming The Mind So The Body Can Perform, Robert M. Nideffer, Ph.D., 1995) mengungkap bahwa seorang atlet yang "being in zone" memiliki kualitas antara lain:
  • Punya perasaan dapat mengontrol dirinya secara penuh dan punya kepercayaan diri lebih kuat
  • Bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dalam pertandingan sebelum benar-benar terjadi
  • Waktu berjalan secara normal
  • Objek tampak lebih luas dan tampak lebih gamblang (pandangan yang cerah)
  • Bisa beraksi dengan usaha yang tidak terlalu memeras keringat (semua berjalan secara "flow")
  • Munculnya rasa senang / riang
  • Bisa menampilkan kualitas permainan yang melebih harapan
Jadi, konsentrasi adalah penggunaan yang proporsional terhadap pikiran untuk bisa fokus pada sasaran yang kita inginkan. Ini berarti konsentrasi itu adalah jalan-tengah (the proper way) di antara dua sisi yang ekstrim, yaitu: distraksi dan "tensi" (tension). Kalau kita tegang, biasanya bukan konsentrasi yang muncul, tetapi adalah over-concentration (pandangan sempit). Sebaliknya, bila kita terkena distraksi: sesuatu yang tidak penting, tidak mendesak dan tidak prioritas untuk kita pikirkan, maka ini adalah under-concentration (ngelantur).

Sebab-sebab


Apa yang menyebabkan seseorang sulit berkonsentrasi? Wah, sebab-sebabnya tentu banyak. Ini terkait dengan lapisan yang menyusun diri kita. Ada lapisan raga dan ada lapisan jiwa. Jika raga kita bermasalah, katakanlah sakit gigi, ini juga bisa mengganggu konsentrasi. Begitu juga kalau kita lapar atau belum ngopi bagi yang sudah kecanduan. Namun begitu, jika masalah ini sudah berlanjut (akut), umumnya ini terkait dengan soal jiwa (batin). Inipun terkadang sulit dimutlakkan dengan satu penjelasan. Karena itu, di bawah ini saya mencoba merangkum beberapa penjelasan yang mudah-mudahan relevan dengan apa yang anda rasakan:

1.  Gangguan keseimbangan emosional

Berbagai studi telah mengungkap bahwa stress, distress, depresi dan lain-lain bisa merusak memori (impaired memory) dan konsentrasi (inability to concentrate). Kalau kita kembalikan ke awal (akar), munculnya berbagai gangguan mental itu terkait dengan persoalan pola hidup sehat (positif). Ini sepertinya sudah semacam "hukum alam". Semakin banyak pikiran negatif, sikap negatif, atau tindakan negatif yang kita biarkan, ya semakin rentan kita terhadap berbagai gangguan itu. Apa ada orang yang selalu positif? Tentu tidak ada. Yang membedakan adalah kemampuan "membersihkan" diri. Konon, 60-75% penyakit fisik itu terkait dengan soal pikiran yang tidak sehat.

2.  Kekosongan emosi

Mahasiswa / pelajar yang sudah tidak memiliki alasan kuat kenapa melanjutkan sekolah, apa targetnya, apa tujuan besarnya, apa program-program pribadinya untuk mencapai target itu, akan cenderung mudah merasa kosong batinnya, hambar hidupnya, atau kecil kepeduliaannya terhadap statusnya sebagai pelajar. Kalau sudah begini, konsentrasi belajar pun rendah. Peduli akan memunculkan kemauan yang keras. Kemauanlah yang membuat hidup kita dinamis, selalu terisi dari waktu ke waktu.

Begitu juga dengan pasangan rumah tangga yang sudah tidak jelas lagi alasan-alasannya, arahnya, program-programnya. Kekosongan batin ini kerap mereduksi konsentrasi dalam membangun keluarga (to develop). Kalau konsentrasi terus menurun, ya tentunya banyak penyimpangan yang muncul. Ini bisa dari yang masih berstadium rendah sampai ke yang berstadium tinggi, misalnya saja perceraian atau kehampaan rasa ber-rumah-tangga.

3.  Manajemen pikiran

Konon, pikiran kita itu memproduksi 60.000an percikan pemikiran (thought) dalam setiap harinya. Jumlah yang sebanyak itu tentu ada yang melawan dan ada yang mendukung. Nah, supaya bisa mendukung, maka dibutuhkan manajemen. Salah satu unsur manajemen yang paling mendasar di sini adalah kemampuan menangkap (catching). Menangkap di sini maksudnya kita mengetahui apa yang dikerjakan oleh pikiran kita. Kita menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.

Kalau kita sedang mendengarkan ceramah dosen lalu pikiran kita ngelantur kemana-mana dan kita pun tidak menyadarinya, ya pasti saja ngelanturnya kebablasan. Tapi jika kita cepat mengetahui dan menyadari, ya kita akan cepat bisa mengalihkannya. Artinya, konsentrasi kita bisa rusak lantaran kita tidak cepat mengetahui dan menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.

Bagaimana Mengasah Ketajaman Konsentrasi?

Seperti yang sudah kita bahas, bahwa penyebab menurunnya konsentrasi itu 'seabrek'. Namun begitu, jika kita merasa apa yang sudah kita bahas itu relevan dengan masalah yang kita hadapi,  mungkin kita bisa melakukan latihan (drill) di bawah ini:

1.  Perjelas target Anda

Target di sini banyak kegunaannya. Selain akan menjadi bimbingan, ia pun bisa mendinamiskan hidup. Dikatakan bimbingan karena kita tidak bisa menyuruhkan pikiran ini berkonsentrasi kalau tidak ada sasarannya. Target adalah sasaran untuk dipikirkan oleh pikiran kita. Pikiran yang kita gunakan untuk memikirkan sasaran demi sasaran akan membuat hidup dinamis. Orang yang hidupnya dinamis dengan target-target yang dimiliki akan jauh dari gangguan dan kekosongan emosi. Jadi, beri tugas pada pikiran untuk memikirkan sasaran, program atau target  yang Anda buat.

2.  Lakukan dan libatkan

Tentu tidak cukup dengan hanya membuat program atau target di atas kertas. Agar target itu benar-benar bermanfaat dalam membimbing dan mendinamiskan, ya dibutuhkan disiplin diri dalam menjalankannya. Lakukan sesuatu yang dapat mendekatkan anda dengan target yang Anda buat. Selain melakukan sesuatu, hal yang terpenting di sini adalah melibatkan diri pada lingkungan yang pas dengan kita (environment system).
Temukan orang lain yang kira-kira bisa membuat Anda selalu "connect" dengan program atau target Anda. Temukan lingkungan yang sejiwa dengan Anda. Kalau Anda punya target ingin jago di IT, misalnya, tetapi Anda tidak mengenal orang IT, tidak masuk komunitas IT, jauh dari masyarakat IT, ya tentu saja konsentrasi Anda kurang mendapat dukungan. Pedagang ber-komunitas dengan pedagang. Olahragawan atau seniman ber-komunitas dengan orang-orang yang sejiwa dengan mereka. Anda pun perlu mencontoh begitu.

3.  Sering-sering berkomunikasi dengan diri sendiri

Ini misalnya menyepi (bukan menyendiri). Menyepi di sini maksudnya Anda memberi ruang dan kesempatan untuk diri sendiri supaya berbicara dengan diri sendiri, self-dialog, self-talk, meditasi, evaluasi, koreksi, refleksi, dan lain-lain. Ini berarti kita tidak perlu ke gunung untuk menyepi. Menyepi dalam pengertian yang luas bisa kita lakukan di tengah keramaian, misalnya di kampus, di kendaraan umum, di perpustakaan, dan lain-lain.

Yang penting esensinya di sini adalah kita "ingat" pada diri kita, memikirkan diri kita, memikirkan target kita, memikiran apa yang sudah kita lakukan. Banyak orang yang hampir tidak pernah memikirkan dirinya dalam arti yang positif. Dari pagi sampai malam yang dipikirin orang lain, ingat orang lain, ngobrol ke sana ke mari tentang orang lain, dan seterusnya. Mestinya yang bagus adalah seimbang.  

4.  Ciptakan sarana (mean)

Ini bisa dilakukan dengan membuat tulisan, catatan, gambar atau apa saja yang memudahkan kita mengingat dan melihat target, program atau bidang-bidang yang penting menurut kita. Ini bisa kita taruh di buku, di meja, di HP, di komputer, dan lain-lain. Artinya, ciptakan sarana yang membuat pikiran ini mudah melihat dan mengingat. Temukan acara teve atau radio yang mendukung agenda. Baca buku atau koran atau majalah yang mendukung. Temui orang yang bisa diajak ngobrol tentang apa yang kita pikirkan.

5.  Tingkatkan kepedulian

Peduli terhadap diri sendiri berbeda pengertiannya dengan mementingkan diri sendiri. Peduli di sini artinya kita berperan seoptimal mungkin berdasarkan status kita. Pelajar yang peduli adalah pelajar yang berusaha berperan seoptimal mungkin sebagai pelajar: ya belajar, ya berorganisasi, ya demo secara positif, ya bergaul, ya mau menghormati guru / dosen, ya macam-macam. Karyawan yang peduli adalah karyawan yang berperan seoptimal mungkin berdasarkan status dirinya sebagai karyawan: ya belajar, ya bisa menerima bimbingan, ya bekerja keras, ya belajar bekerja cerdas, ya tidak ngambek-kan, ya macam-macam.

Kenapa peduli ini penting? Alasannya, ketika kita menolak peranan yang seharusnya kita lakukan berdasarkan status kita, maka yang muncul adalah konflik di batin, stress, depresi, distress, dan lain-lain. Ini biasanya diikuti oleh rombongannya, katakanlah seperti: keinginan yang tidak realistis dan akurat, pikiran yang tidak jelas fokus dan sasarannya, hasil yang tidak pasti, munculnya pikiran-pikiran negatif terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap keadaan.

Meski kita sering mengasosiasikan konsentrasi itu dengan cara kerja pikiran, tetapi kalau perasaan kita terluka atau terganggu, akibatnya pikiran juga terganggu. Banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan dan tidak bisa kita lakukan dengan bagus karena kita sedang menyimpan perasaan yang tidak bagus. Benar nggak begitu? Semoga ini bermanfaat.

Membangun Optimisme


Dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita menemui orang-orang yang memiliki optimisme begitu tinggi  untuk meraih suatu prestasi tertentu dan cenderung menganggap enteng segala tantangan yang mungkin menghadang. Namun demikian, dibalik sikap optimisme tersebut tidak jarang kita juga menemukan bahwa orang tersebut cenderung tidak memiliki dasar atau landasan kuat untuk mendukung optimismenya yang terefleksi dalam bentuk minimnya persiapan dan rencana, ketekunan, keras keras, kemampuan yang dimiliki, dst. Akibatnya ia tidak pernah berhasil mencapai prestasi yang tadinya sangat diyakini akan dapat dicapai.  Bahkan banyak yang berakhir dengan kekecewaan dan frustrasi mendalam. 

Jika menilik kondisi diatas maka pasti akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kita. Apakah salah jika seseorang memiliki optimisme yang tinggi? Jika orang tersebut telah memiliki optimisme, lalu hal-hal apa saja yang bisa menghambatnya sehingga gagal mewujudkan cita-cita atau impiannya? Hal-hal inilah yang akan dicoba untuk dibahas dalam artikel ini.   

Membumi


Selamanya anda tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan waktu. Masa lalu telah menjadi sejarah. Ia memberi banyak pelajaran tentang suatu hal yang membedakan tetapi jangan sampai anda hidup di dalamnya dan terlilit belenggunya. Sementara masa depan masih  berupa wilayah yang penuh misteri dan keajaiban. Masa lalu adalah peta tentang dari mana anda dan masa depan merupakan wilayah tentang kemana anda. Maka tugas anda adalah menggoreskan pena imajinasi tentang masa depan di atas kertas sejarah masa lalu. 
Optimisme akan masa depan tidak dibangun di atas harapan utopis atau impian kosong karena harapan dan impian seperti itu bersifat gratis dan bisa dimiliki oleh semua orang dalam jumlah sebanyak mungkin. Kalau sekedar bicara harapan dan impian, tentu semua orang ingin makmur, hidup enak, berfoya-foya, terhormat dan digolongkan ahli surga. Namun dalam kenyataan berapa persen yang bisa mewujudkan impian tersebut? Anda pasti tahu jawabannya.  

Masa depan harus dibangun dengan optimisme alamiah yang membumi dan hanya bisa dijawab oleh kualitas pribadi anda untuk menggunakan masa sekarang ini. Bagaimana cara anda mengisi hari-hari anda di masa sekarang sebenarnya itulah sketsa paling reliable untuk memahami masa depan anda.

Langkah Alamiah


Bagaimana caranya anda membangun optimisme yang membumi? Ikuti langkah alamiah berikut:

1.  Keyakinan

Keyakinan seperti apakah yang dibutuhkan saat anda mendesain masa depan? Anda membutuhkan  keyakinan faktual  sebagai alasan mengapa anda memiliki optimisme yang kuat. Dengan kata lain, jika anda memahami tahapan persoalan dari konsepnya yang paling utuh, berarti anda sudah memahami bagaimana persoalan tersebut akan berakhir. Dale Carnegie menyebutnya ilmu pengetahuan khusus, yaitu pemahaman menyeluruh tentang suatu hal yang spesifik. Ilmu pengetahuan khusus inilah yang menempati level hukum wajib untuk anda cari, yaitu ilmu tentang keadaan hidup anda.

Oleh karena itu milikilah alasan-alasan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu hasil  sehingga anda merasa layak untuk yakin.  Berilah diri anda alasan yang kuat, mengapa anda pantas memiliki keyakinan tentang suatu hal. Batas anda untuk yakin dan ragu-ragu terkadang lebih sering berupa batas kemampuan anda untuk mengetahui bagaimana sesuatu terjadi (how something happens). Para pakar manajemen menyebutnya sebagai kemampuan untuk memahami hasil akhir. Oleh karena itu dibutuhkan data akurat, informasi perkembangan operasional, dan standarisasi solusi bagi kerumitan tekhnis. Dan terus terang, ketika sudah bicara standarisasi, maka referensinya adalah pengalaman dan pengetahuan. Layaknya makhluk lain, anda pun punya data pengalaman tentang â€Ĺ“power of story” yang dapat anda jadikan sebagai referensi.

Selain keyakinan faktual,  anda membutuhkan  keyakinan mental terutama ketika anda sedang menghadapi pekerjaan yang sifatnya start-up.  Mengapa anda membutuhkannya?  Seluruh dalil kehidupan menunjukkan "life is game", meskipun tidak berarti main-main atau sandiwara belaka. Andalah  sebagai pemain utama sekaligus penonton. Ketika anda tidak memiliki keyakinan mental maka sangat bisa dipastikan karakter yang anda presentasikan di atas panggung kehidupan ini sulit menciptakan kepuasan internal dan tidak memiliki daya tarik untuk merebut apresiasi penonton.

Bagaimana orang lain memberlakukan anda diawali dari bagaimana anda memberlakukan diri anda. Jika anda tidak yakin bahwa anda memiliki kemampuan untuk bermain secara utuh, maka karakter hidup yang anda peragakan adalah karakter  ragu-ragu untuk sukses. Dalam teori Samurai, prajurit yang biasanya membunuh musuh adalah prajurit yang punya persiapan penuh untuk mati. Sebaliknya prajurit yang biasanya tertikam oleh pedang musuh adalah mereka yang keyakinannya setengah-setengah. Agama menyebutnya dengan istilah "faith" yang berarti "substance" atau "the peach of real".

Keyakinan bahwa anda memiliki kemampuan meraih sukses melahirkan pribadi yang puas terhadap kehidupan dan oleh karena itu energi yang dihasilkan bersifat  positif. Energi inilah yang akan melindungi keyakinan anda dari virus yang berupa keragu-raguan, rasa tidak berdaya, pesimisme tidak beralasan, rasa khawatir yang berlebihan terhadap tahayul 'jangan-jangan' dan distraksi yang menyebabkan anda terseret dari garis fokus hidup anda. Anda menjadi mudah tergoda oleh banyaknya intimidasi orang atau keadaan karena kaki anda belum sepenuhnya menginjak di atas tanah realitas kehidupan. Selain itu,  karakter hidup yang tidak kental juga tidak memiliki daya tarik terhadap orang lain. Pebisnis dengan keyakinan tinggi terkadang bisa merebut pelanggan dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga yang ditawarkan oleh pebisnis amatiran.

2.  Kontrol Diri

Kontrol diri erat kaitannya dengan bagaimana anda menggunakan pilihan hidup. Disadari atau pun tidak, selama hidup anda selalu disodorkan sejumlah pilihan seiring dengan detak jantung anda. Mana yang akan anda pilih, anda jengkel karena keadaan semrawut atau karena anda jengkel sehingga keadaan menjadi semrawut. Pilihan seluruhnya di tangan anda. Anda berpikir negatif karena keadaan yang negatif atau karena anda berpikir negatif sehingga keadaan menjadi negatif. Terus terang sebagai manusia biasa terkadang anda sering tergelincir ke dalam situasi hidup bahwa realitas adalah monster yang memberi anda kepastian sehingga di hadapannya anda tidak sempat menyadari bahwa realitas adalah hasil pilihan anda.

Ketika kontrol diri tidak lagi berada pada kesadaran bahwa realitas adalah hasil dari akumulasi pilihan maka optimisme mulai meninggalkan  anda karena energi yang bekerja membentuk format hidup anda berupa energi negatif. Saat itulah anda tergoda untuk memilih keyakinan bahwa lebih besar tentangan ketimbang kemampuan; lebih banyak problem ketimbang solusi; hutang melebihi jumlah pemasukan; keterbatasan lebih berkuasa ketimbang keunggulan anda; dan semua yang anda lakukan pantas dianggap kenihilan belaka. 
Kondisi tersebut mungkin persis seperti yang pernah dirasakan oleh seorang presiden Amerika  ketika negaranya nyaris amburuk tertimbun krisis.  Napoleon Hill, sang penasehat pribadi dipanggil untuk berbicara tentang solusi.  Saran pertama yang keluar dari mulut pengarang legendaris ini adalah agar sang presiden mengeluarkan "Undang-Undang Wajib Optimisme" melawan krisis. Bahwa bangsa Amerika adalah bangsa besar dan punya asset yang besarnya melebihi krisis sehingga tidak ada alasan sedikit pun yang membenarkan untuk menyerah. Undang-undang tersebut harus disosialisasikan melalui media massa, lembaga swasta dan pemerintah agar rakyat Amerika menjadi "pede" menatap masa depannya.  Napoleon-lah yang akhirnya menulis: "Effort only fully releases its reward after a person refuses to quit". Jangan heran jika keturunan Amerika sampai kini punya self-confidence lebih besar dari bangsa lain.

Merujuk nasehat Napoleon yang punya andil besar  terhadap SDM Amerika,  maka kesadaran yang anda butuhkan untuk membangun optimisme berupa kesadaran The Law of Farmer (Hukum Petani) Hukum Petani memberi isyarat bahwa tidak ada effect tanpa cause yang bukan sembarang cause tetapi cause yang didukung oleh pengetahuan anda tentang bibit unggul, tanah yang subur dan kecocokan musim selain juga dibutuhkan sistem perawatan.  Rawatlah benih yang anda taburkan di atas tanah yang sudah anda yakini kesuburan dan kecocokan musimnya  dengan menaburkan pupuk dan pengairan yang cukup. Untuk diri anda, berilah pupuk yang mereknya bernama fokus, komitmen pada tujuan akhir, konsistensi, atau determinasi. Setelah semua anda berikan, istirahatah yang cukup.

3.  Kohesi

Lingkungan memiliki energi, roh, atau power untuk membentuk anda meskipun akhirnya keputusan tetap di tangan anda. Lingkungan bagaikan penasehat tanpa jabatan. Sayangnya, anda secara alami cenderung terbawa larut oleh lingkungan tanpa keputusan yang kuat untuk menciptakan seleksi. Akibatnya anda menjadi sosok yang diciptakan oleh lingkungan. Sehingga jadilah anda sosok yang biasa-biasa saja dan tidak pernah menempati wilayah posisi decision maker meskipun untuk persoalan anda sebagai the person.

Tidak semua energi yang dikeluarkan lingkungan memiliki daya tarik ke hal-hal negatif tetapi kesalahan tentang lingkungan terjadi ketika anda mengabaikan prinsip dasar kebenaran alamiah bahwa dunia ini diciptakan dari hukum partnership, kerja sama bukan sama-sama kerja atau  hukum Salome, satu piring untuk semua orang.  Maksudnya jika anda hanya memiliki satu lingkungan yang sangat terbatas, maka lingkungan itulah yang menjadi identitas anda. Ibaratnya, seperti katak di dalam tempurung. Padahal satu gagasan hidup menuntut aplikasi sekian perangkat di mana masing-masing perangkat ikut andil sesuai kekuatannya.

Terhadap lingkungan, pilihan yang paling bijak adalah, mulailah untuk menemukan lingkungan kondusif  untuk pengembangan anda dan jika anda belum atau tidak menemukannya, maka ciptakan sendiri, meskipun  keberadaanya di dalam diri. Ciri umum yang menonjol untuk lingkungan kondusif adalah ketika kohesi yang membentuknya didasarkan pada kebenaran alamiah baik cara atau substansinya  dan semangat yang dikobarkan adalah perjuangan gagasan yang berarti kesadaran terhadap hukum petani.

Sekokoh apapun konstruksi lingkungan jika substansinya melawan kebenaran alamiah maka hasil akhirnya tidak jauh dengan lingkungan yang dikelola dengan cara-cara melawan kebenaran meskipun bersubstansi benar. Di samping itu lingkungan yang tidak menaruh dukungan utuh terhadap perkembangan anda, sama artinya dengan belenggu. Jika anda tidak menemukan celah yang terbuka untuk mematangkan  gagasan perjuangan hidup di rumah, carilah sahabat seperjuangan di luar rumah. Jika sahabat anda tidak bisa menjadi sumber kekuatan untuk pengembangan profesi atau karir  atau keuangan, temukan pasangan di tempat lain.  

Dengan memahami cara-cara di atas, maka penulis berharap bahwa anda dapat membangun optimisme yang membumi sehingga tidak terjadi frustrasi karena anda gagal mencapai apa yang anda inginkan. Selamat mencoba dan semoga berguna.

Eksplorasi Bakat

Bentuk-bentuk Bakat

Seandainya ada polling yang menanyakan tentang masalah apa saja yang dihadapi  orang remaja-dewasa, boleh jadi masalah menemukan bakat termasuk yang populer, selain masalah stress akibat putus cinta atau masalah strategi menggaet calon kekasih. Menurut hasil renungan Dale Carnegie, yang diresahkan oleh manusia di dunia ini adalah dua hal. Pertama, manusia selalu resah tentang sebutan apakah yang nanti akan saya sandang sebelum mayat saya dikebumikan. Apakah saya seorang dokter, pengusaha, penulis, pegawai, wanita karir, dosen, guru, presenter, atau apa ya...?
Kedua, manusia resah tentang siapakah pasangan saya nanti? Manusia model seperti apakah yang akan menjadi ayah atau ibu dari anak saya? Apakah jodoh saya nanti orang yang baru saya kenal ataukah orang yang sudah saya kenal sebelumnya? Resah di sini punya pengertian bukan bingung atau sedih, tetapi resah dalam arti sebuah kondisi batin yang dihasilkan dari munculnya tanda tanya yang selalu mendorong kita untuk menemukan jawabannya.

Nah, kembali pada soal bakat, sebenarnya apa sih bakat itu? Apakah saya punya bakat? Makhluk semesterius apa sih bakat itu? Dimana bakat saya? Bagaimana cara menemukannya? Kepada siapa sebetulnya saya harus bertanya tentang bakat saya? Dan seterusnya.

Sebelum kita membahas pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, saya ingin mengatakan bahwa bakat menurut penjelasan teoritisnya memang punya wilayah bahasan yang cukup luas. Di dalam literatur ilmiah, ada istilah talent, ada istilah giftedness, ada istilah traits, ada istilah intelligence seperti dalam "multiple intelligence", aptitude, dan seterusnya. Selain harus berurusan dengan istilah-istilah yang mungkin tidak dimengerti bagi kebanyakan orang, pun juga tidak semua orang "boleh" memberikan penilaian tentang bakat seseorang. Hanya bagi orang-orang yang sudah bersertifikat di bidang ini yang "disahkan" memberikan penilaian.

Tetapi, bakat dalam pengertian bahasa atau dalam pengertian yang umum kita pahami adalah kelebihan / keunggulan alamiah yang melekat pada diri kita dan menjadi pembeda antara kita dengan orang lain. Kamus Advance, misalnya, mengartikan talent dengan "natural power to do something well". Dalam kamus Marriam-Webster’s dikatakan "natural endowments of person". Dalam percakapan sehari-hari kita sering mengatakan si anu berbakat di nyanyi, di bisnis, di IT dan seterusnya.

Rupanya, bakat dalam pengertian kedua ini juga dipakai oleh Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Harvard University yang sering berkolaborsi dengan Howard Gardner dalam membahas kecerdasan. Dalam tulisannya, Little Geniuses, yang pernah diterbitkan majalah Parenting (1989), ia menjelaskan, bakat manusia bisa muncul dalam berbagai bentuk. Perhatikan daftar kemampuan (ability) di bawah ini lalu deteksi mana yang paling kuat di dalam diri Anda:
  • Acting Ability (akting / gerakan)
  • Adventuresomeness (kepetualangan)
  • Aesthetic perceptiveness (estitika)
  • Artistic Talent (artistik)
  • Athletic prowess (ke-atlit-an)
  • Common sense (pengetahuan umum)
  • Compassion (peduli orang lain, mudah tersentuh)
  • Courage  (keberanian)
  • Creativity (kreativitas)
  • Emotional maturity (kematangan emosi)
  • Excellent memory (kehebatan menyimpan data / menghafal)
  • Imagination (imajinasi)
  • Inquiring mind (keingintahuan)
  • Intuition (intuisi)
  • Inventiveness (daya cipta, penemuan)
  • Knowledge of a given subject (Pengetahuan spesifik)
  • Leadership abilities (kepemimpinan)
  • Literary aptitude (bakat kesastraan)
  • Logical-reasoning ability (kemampuan berlogika)
  • Manual dexterity (ketangkasan manual / ketrampilan tangan)
  • Mathematical ability (kemampuan matematis)
  • Mechanical know-how (penguasaan mekanis)
  • Moral character (karakter moral)
  • Musicality (permusikan)
  • Passionate interest in a specific topic (kegairahan mengikuti / mendalami topik tertentu)
  • Patience (kesabaran)
  • Persistence (ketangguhan)
  • Physical coordination (kerapian fisik)
  • Political astuteness (kelihaian berpolitik)
  • Problem-solving capacity (kemampuan menghadapi masalah)
  • Reflectiveness (kemampuan merefleksikan)
  • Resourcefulness (kepandaian mengatasi masalah)
  • Self-discipline (disiplin-diri)
  • Sense of humor (naluri melucu)
  • Social savvy (pemahaman sosial)
  • Spiritual sensibility (ketajaman spiritual)
  • Strong will (kemauan keras)
  • Verbal ability (kemampuan mengungkapkan secara verbal)
Daftar di atas baru sebagian dari sekian. Masih banyak kemampuan alamiah manusia yang belum atau tidak bisa dijabarkan. Dan lagi, kalau kita perhatikan praktek hidup, amat sangat jarang ada orang yang hanya diberi satu kemampuan dari daftar di atas. Dalam diri setiap manusia ada sekian kemampuan dari daftar di atas. Orang yang hebat di bidang IT tidak berarti hanya dibekali kemampuan tekun dalam mengutak-atik komputer. Ia juga punya kemauan keras, punya disiplin, kreatif, mau mempelajari hal-hal baru dan seterusnya. Seorang tokoh agama tidak berarti hanya dibekali kemampuan spiritual sensibility saja. Ia juga punya kemampuan lain yang mendukung keunggulannya, seperti verbal, sosial, dan lain-lain.

Hal lain yang perlu kita ingat adalah penjelasan Dr. Sternberg, pakar Psikologi dari Yale University (Practical Intelligence, John Meunier, Fall, 2003)). Selama bertahun-tahun mengkaji kemampuan manusia, ia berkesimpulan bahwa kemampuan manusia itu bukanlah sebuah kemampuan yang sifatnya sudah baku pada satu bentuk atau titik tertentu (not fixed ability), tetapi sebuah kemampuan yang sifatnya terus berkembang (developing abilities).

Antara Potensial & Aktual


Untuk meng-aktual-kan energi potensial itu dibutuhkan pembangkit, pengolahan atau pendeknya bisa disebut proses aktualisasi.  Proses aktualisasi seperti apa saja yang bisa kita lakukan? Di bawah ini saya mencoba mendaftar proses yang bisa kita lakukan berdasarkan temuan ilmiah para ahli atau juga  pengalaman orang lain yang sudah menemukannya:

1.  Hasrat sejati (inner calling) 

Di sini yang perlu kita lakukan adalah menemukan keinginan-keinginan yang selalu mendorong kita untuk meraihnya atau melakukannya. Konon, di setiap diri manusia sudah dipasang semacam stasiun radio yang selalu menyuarakan dorongan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang sifatnya sangat spesifik. Inilah yang disebut hasrat sejati - yaitu sebuah hasrat yang terus menggelora di dalam diri kita. Supaya hasrat sejati itu teratur dan tersalurkan, cobalah merumuskan dan memperjuangkan tujuan hidup yang sudah kita buat berdasarkan kemampuan kita hari ini. Kesimpulan Mary Lou Retton mengatakan, "Setiap orang memiliki bara api yang menyala-nyala di dalam hatinya untuk meraih sesuatu. Tujuan hidup adalah alat untuk menemukannya dan menjaganya supaya tetap menyala". 

2.  Pembuktian diri

Membuktikan diri artinya kita memunculkan ide, gagasan atau keinginan lalu kita memperjuangkannya sampai berhasil. Agar kita tidak terlalu sering gagal, pilihlah yang kira-kira bisa kita lakukan dengan kapasitas yang kita miliki hari ini. Semakin banyak yang bisa kita realisasikan, semakin tahu  di mana sebetulnya keunggulan dan kelemahan kita. "Selama Anda belum bisa melihat hasil karya Anda, selama itu pula Anda belum tahu kemampuan Anda", pengalaman Martine Grime. Biasanya, selama kita belum bisa membuktikan apa yang sanggup kita lakukan (menghasilkan kreasi atau karya), penilaian kita tentang kemampuan kita masih belum akurat. Terkadang kita hanya merasa mampu padahal belum tentu kita memiliki kemampuan. Pembuktian adalah jalan untuk mengetahui apakah kita sudah memiliki kemampuan atau baru merasa mampu.

3.   Perbandingan positif

Ini juga bisa kita lakukan. Tehniknya, kita dapat membuat perbandingan antara kita dengan orang lain. Orang lain itu bagaikan cermin buat kita. Mengetahui di mana keunggulan dan kelemahannya, biasanya akan menunjukkan di mana keunggulan dan kelemahan kita. Tehnik melihat dan melakukan sesuatu dengan orang lain (bersinergi atau bekerja sama) inilah yang pernah dilakukan Bruce Lee.  Cuma ada satu yang perlu dicatat. Model perbandingan yang kita butuhkan adalah perbandingan positif. Maksudnya, kita membandingkan diri kita dengan orang lain, bukan untuk tujuan yang macam-macam, tetapi murni untuk memperbaiki diri.

4.   Pengasahan (Practicing)

Konon, sekitar tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi terhadap kehidupan orang-orang berprestasi, seperti Mozart, Picasco, dan macam-macam. Hasilnya, mereka merekomendasikan kepada umat manusia untuk membuang mitos yang selama ini diyakini. Mitos seperti apa yang biasa kita yakini? Kita sering meyakini bahwa orang-orang berprestasi tinggi itu meraih prestasinya karena Tuhan "mengistimewakan" mereka dengan bakat yang dimiliki sementara kita bukan seperti mereka.
Mengapa keyakinan semacam ini disebut mitos? Telaah di lapangan menyimpulkan,  ternyata bukan karena bakat semata yang membuat mereka berhasil. Memang benar, mereka meraih prestasi tinggi karena punya bakat, ada peluang, ada dukungan dan ada pelatihan, tetapi faktor yang paling banyak mendukung keberhasilan mereka adalah "practicing" atau mengasah bakat, keunggulan atau kelebihan alamiah yang melekat pada dirinya.

"Orang selalu berkata kepada saya bahwa bakat saya dan kejelian saya yang menjadi alasan kesuksesan saya. Mereka tidak pernah berkata tentang praktek, praktek, dan praktek yang saya jalankan".
(Ted Williams, 1918)

5.  Penempatan / penyaluran

Tidak semua keunggulan alamiah itu berada di lokasi yang sangat jauh dari kita sehingga kita perlu mencarinya setengah mati. Ada kalanya bisa muncul dari hobi, kegemaran-kegemaran kecil, kegiatan tertentu yang kita lakukan tanpa beban seperti orang main-main atau dari hal-hal yang sangat dekat dengan kebiasaan kita sehari-hari. Di sini yang dibutuhkan adalah menyalurkan atau menempatkannya pada saluran atau bidang-bidang yang kira-kira menguntungkan kita lalu kita perbaiki dan kita kembangkan. 

Sebagai tambahan, saya ingin mengutip hasil telaah dua orang pakar dari dunia yang berbeda. Mudah-mudahan ini juga bisa kita jadikan referensi. Pertama, dari seorang konsultan olahraga yang banyak menggeluti kehidupan atlet, Marie Dalloway, Ph.D, (2000-2004). Ia mensyaratkan adanya lima hal mendasar bagi seorang atlet untuk mengaktualkan bakat potensialnya, seperti berikut:
  1. Bakat (Talent)
  2. Kemauan keras untuk maju (Steel Will).
  3. Dedikasi (cinta pekerjaan atau profesi)
  4. Pembinaan dan Latihan
  5. Training diri
Sidney Moon dalam konferensi tahunan kedelapan tentang bakat di Yunani (2002) menjelaskan bahwa supaya bakat seseorang itu muncul dan bermanfaat bagi orang itu (ter-aktualkan), maka ini menuntut tiga hal, yaitu:
  1. Kemampuan memahami diri (tahu kelebihan, tahu kelemahan, tahu tujuan, dst)
  2. Kemampuan membuat keputusan hidup yang bagus (berpikir positif, ber-aksi positif, bergaul di lingkungan kondusif,  dst)
  3. Kemampuan menaati disiplin–diri (kemauan, ketekunan, kegigihan, dst) 
Harus diakui memang bahwa ada rahasia Tuhan di balik istilah bakat itu. Maksud saya, bakat dalam arti keunggulan alamiah (potensi) memang dimiliki oleh semua orang, tetapi kenyataannya ada orang yang tahu ("ditunjukkan") harta karunnya lebih dini sementara yang lain tidak. Ada bakat tertentu yang punya nilai sendiri untuk masa tertentu sementara yang lain tidak atau belum. Mengapa ini harus terjadi, tentu kita tidak tahu seratus persennya. Selamat mengeksplorasi bakat Anda.