Cari Blog Ini

Jumat, 24 Februari 2012

Traumatic Stress

Pengertian Secondary Traumatic Stress
Bidang traumatologi (studi mengenai individu yang mengalami trauma) telah mencapai perkembangan yang pesat di akhir dekade ini (Figley, 1995). Salah satu kontribusinya adalah meningkatnya kesadaran bahwa seseorang akan mengalami dampak psikologis yang berat ketika mengalami kejadian yang traumatik. Oleh sebab itu, pada tahun 1980, American Psychiatric Association mempublikasikan adanya diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (Third Edition) (DSM-III). Diagnosis ini melihat simtom-simtom yang umumnya dialami oleh individu-individu yang mengalami trauma sebagai gangguan psikiatris. PTSD merepresentasikan betapa berbahayanya pengaruh biopsikososial dari pengalaman traumatis.
Konsep PTSD mendorong penelitian-penelitian di bidang traumatologi. Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individu yang tergolong mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak langsung (Pickett, 1998). Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan peristiwa traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatik itupun dapat berpotensi untuk membawa kondisi traumatik. Tidak hanya keluarga dari seseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trauma sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan mental dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figley, 1995).
Charles R.Figley dan B.Hudnall Stamm (Stamm, 1999), yang bekerja menangani klien yang trauma pada sebuah Trauma Center, menyadari adanya suatu efek negatif yang dialami oleh para  konselor. Efek ini justru muncul karena upaya seorang konselor dalam memberikan perhatian dan berempati kepada klien serta dorongan yang kuat untuk membantu klien. Menurut Figley dan Stamm (dalam Stamm, 1999), seorang konselor trauma bisa ikut mengalami beberapa simtom yang serupa dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dimiliki oleh klien mereka. Figley (dalam Richardson, 2001) mendefinisikan situasi ini dengan Secondary Traumatic Stress (selanjutnya disebut STS), yaitu suatu hal yang terjadi secara natural, merupakan suatu konsekuensi tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan mengenai suatu peristiwa trauma yang dialami oleh significant other. Istilah ‘sekunder’ mengacu pada kenyataan bahwa trauma itu dialami oleh orang lain, tetapi kemudian ikut dialami oleh pihak yang mengamati, memberikan bantuan, atau mendengarkan kisahnya (Sidabutar, 2003). Figley (1995) juga menyebut kondisi tersebut sebagai “reaksi secondary catastrophic stress”, yang berarti bahwa empati terhadap pengalaman orang lain menghasilkan ketegangan emosional (seperti kesedihan, kemarahan, dll). Hal ini merupakan “harga” dari memberikan perhatian, kepedulian, dan pertolongan pada individu yang mengalami trauma.
Fenomena tentang STS juga diasosiasikan dengan “cost of caring” terhadap  penderitaan emosional orang lain (Figley dalam Rudolph, Stamm, danStamm, 1997). Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain yang menderita, disertai dengan keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999).
Berdasarkan definisi di atas, maka STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa sakit psikologis yang berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun STS merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain yang mengalami trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang sangat berat.
Dampak  Secondary Traumatic Stress
Para peneliti telah membandingkan efek trauma klien pada pekerja kesehatan mental dengan simtom-simtom PTSD (Conrad dan Perry dalam Hesse, 2002). Mereka sependapat bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma memiliki efek yang tak dapat dielakkan, mengganggu, dan jangka panjang pada terapis, dan bahwa reaksi ini mungkin saja terjadi tanpa memandang suku, jenis kelamin, usia, dan tingkat keahlian atau profesional seseorang (Edelwichdan Brodsky, dalam Hesse, 2002). Beberapa peneliti yakin bahwa STS  dihasilkan dari proses pemaparan dari pengalaman traumatik yang dialami oleh orang lain. Figley dan Stamm  (Stamm, 1999) melihat bahwa pengalaman bekerja dengan klien yang mengalami trauma dapat mengubah diri seorang konselor atau terapis menjadi lebih baik atau buruk. Dengan demikian, peristiwa dan pengalaman traumatis klien juga mempengaruhi kehidupan pribadi konselor.
Menurut Beaton dan Murphy (dalam Cornille, 1999), individu yang mengalami STS umumnya menunjukkan simtom-simtom yang sama dengan PTSD, antara lain :
  • Adanya gangguan tidur
  • Kemarahan
  • Ketakutan yang intense
  • Gangguan memory
  • Sensitif
  • Cemas
  • Menekan emosi tertentu
  • Mimpi buruk
  • Kehilangan kontrol
  • Depresi
  • Tendensi untuk bunuh diri
Selanjutnya, efek dari STS itu sendiri akan mengganggu fungsi profesional individu. Yassen (dalam Richardson, 2001) menguraikan dampak STS terhadap fungsi profesional individu sebagaimana yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini.
Dampak STS terhadap profesionalitas individu
Tampilan kerja
Moral
Interpersonal
Tingkahlaku
Penurunan kualitas dan kuantitas kerja
Kurang motivasi
Menghindari tugas
Banyak melakukan kesalahan
Standar kerja yang sempurna
Obsesi terhadap detail
Kurang percaya diri
Kehilangan minat
Rasa tidak puas
Sikap negatif
Apati
Menjaga jarak
Merasa hampa
Menghindar dari rekan kerja
Tidak sabar
Penurunan kualitas relasi
Sulit berkomunikasi
Mudah konflik dengan rekan kerja
Sering tidak masuk kerja
Lelah
Mudah marah
Tidak bertanggungjawab
Terlalu banyak bekerja
Sering berganti-ganti pekerjaan
(Yassen, dalam Richardson 2001)

Trauma

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi kejadian yang traumatik.  Pengalaman traumatik adalah suatu kejadian yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya (Lonergan, 1999). Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon individual yang terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Gejala dan simtom yang muncul tergantung pada seberapa parah kejadian tersebut. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan tergantung pula pada pengalaman dan sejarah masa lalu mereka.
Menurut Stamm (1999), stres traumatik merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan, deprivasi, dll). Kondisi tersebut disebut juga dengan stres pasca traumatik (atau Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Menurut Pickett (1998), ada dua bentuk simtom yang dialami oleh individu yaitu : (1) adanya ingatan terus menerus tentang kejadian atau peristiwa tersebut, dan (2) mengalami mati rasa atau berkurangnya respon individu terhadap lingkungannya. Kondisi tersebut selanjutnya akan mempengaruhi fungsi adaptif individu dengan lingkungannya. Seringkali, peristiwa yang traumatik akan sangat menyakitkan sehingga bantuan dari para ahli akan diperlukan dalam mengatasi trauma yang dialami.

STRES.....

Seringkali stres didefinisikan dengan hanya melihat dari stimulus atau respon yang dialami seseorang. Definisi stres dari stimulus terfokus pada kejadian di lingkungan seperti misalnya bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau berhenti dari kerja. Definisi ini menyangkut asumsi bahwa situasi demikian memang sangat menekan tapi tidak memperhatikan perbedaan individual dalam mengevaluasi kejadian. Sedangkan definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stres (Lazarus & Folkman, 1984).
Definisi stres dengan hanya melihat dari stimulus yang dialami seseorang, memiliki keterbatasan karena tidak memperhatikan adanya perbedaan individual yang mempengaruhi asumsi mengenai stresor. Sedangkan jika stres didefinisikan dari respon, maka tidak ada cara yang sistematis untuk mengenali mana yang akan jadi stresor dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, perlu dilihat terlebih dahulu reaksi yang terjadi. Selain itu, banyak respon dapat mengindikasikan stres psikologis yang padahal sebenarnya bukan merupakan stres psikologis. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa respon tidak dapat secara reliabel dinilai sebagai reaksi stres psikologis tanpa adanya referensi dari stimulus (Lazarus & Folkman, 1984).
Singkatnya, semua pendekatan stimulus-respon mengacu pada pertanyaan krusial mengenai stimulus yang menghasilkan respon stres tertentu dan respon yang mengindikasikan stresor tertentu. Yang mendefinisikan stres adalah hubungan stimulus-respon yang diobservasi, bukan stimulus atau respon. Stimulus merupakan suatu stresor bila stimulus tersebut menghasilkan respon yang penuh tekanan, dan respon dikatakan penuh tekanan bila respon tersebut dihasilkan oleh tuntutan, deraan, ancaman atau beban. Oleh karena itu, stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya (Lazarus & Folkman, 1984).
Proses Pengalaman Stres
Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Sebuah situasi yang sama dapat dinilai positif, netral atau negatif oleh orang yang berbeda. Penilaian ini bersifat subjektif pada setiap orang. Oleh karena itu, seseorang dapat merasa lebih stres daripada yang lainnya walaupun mengalami kejadian yang sama. Selain itu, semakin banyak kejadian yang dinilai sebagai stresoroleh seseorang, maka semakin besar kemungkinan seseorang mengalami stres yang lebih berat.
Perbedaan tingkat perkembangan antara anak-anak dengan orang dewasa tidak membuat perbedaan besar dalam hal pembentukan persepsi manusia. Teori appraisal dari Lazarus sudah diaplikasikan dalam penelitian terhadap anak. Salah satu penelitian yang dimaksud adalah penelitian oleh Johnson dan Bradlyn (dalam Wolchik & Sandler, 1997), yang ditujukan untuk meneliti appraisal positif dan negatif terhadap suatu peristiwa serta seberapa besar pengaruh peristiwa tersebut terhadap seorang anak.
Menurut Lazarus (1991) dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu :
1. Primary appraisal
Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi (Lazarus dalam Taylor, 1991). Pentingnya primary appraisal digambarkan dalam suatu studi klasik mengenai stres oleh Speisman, Lazarus, Mordkoff, dan Davidson (dalam Taylor, 1991). Studi ini menunjukkan bahwa stres bergantung pada bagaimana seseorang menilai suatu peristiwa.
Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
  1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya.
  2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.
  3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang.
2. Secondary appraisal
Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
  1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
  2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
  3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.
Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat diminimalkan.

Respon Stres
Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
  1.  
    1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
    2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
    3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
    4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

COPING STRES
Proses Coping Stres
Stres yang muncul pada anak akan membuat anak melakukan suatu coping (Mu’tadin, 2002). Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis, karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).
Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi :
1. Problem-focused coping
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.
2. Emotion-focused coping.
Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa penggunaan strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum meningkat seiring bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al., dalam Wolchik & Sandler, 1997).
Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Taylor, 1991) mengenai kemungkinan variasi dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu :
Problem-focused coping
  1.  
    1. Confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
    2. Seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
    3. Planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
Emotion focused coping
  1.  
    1. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
    2. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
    3. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
    4. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
    5. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Coping Outcome
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus (dalam Taylor, 1991) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
  1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya
  2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
  3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
  4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
  5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :
  1. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
  2. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.
  3. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.