Cari Blog Ini

Minggu, 18 Desember 2011

Percaya Diri atau Egoisme...........?


Pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan "pede" merupakan kualitas personal yang dibutuhkan. Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan hidup yang berlandaskan pada keunggulan-diri, arah kiblat (direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan kemudian membuat kita merasa punya hak untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk diselesaikan.

Tetapi dalam praktek, kata pede sudah mengalami "over-used" dan tidak jarang didefinisikan secara kabur antara pede yang kita butuhkan dan pede yang seharusnya tidak kita miliki (penyimpangan). Orang sering salah mengalamatkan penilaian  antara pede dengan ego-centered (egoisme), menang sendiri atau merasa benar sendiri.  Padahal kalau kita telusuri sampai ke akar, perbedaan antara pede yang menyimpang dan pede yang lurus (self confidence)  bukan karena persoalan kadar melainkan murni berbeda di tingkat sumber motif. Artinya, baik praktek perilaku, sifat, dan sikap egois bukanlah karena kadar rasa percaya diri yang terlalu kuat melainkan justru karena kurang dari kadar yang dibutuhkan dan akhirnya menyimpang.

Motif 

Pede  yang menyimpang berangkat dari sumber motif berupa perasaan yang merasa kurang (feeling of lack) secara berlebihan (excessive). Ketika orang membangun asumsi dasar tentang dirinya bahwa ia tidak memiliki kemampuan potensial yang cukup untuk diolah menjadi keunggulan guna mengalahkan tantangan atau meraih apa yang benar-benar diinginkan, maka perasaan tersebut pada kadar yang terus dibiarkan akan menggumpal bersama keyakinan bahwa untuk mendapatkan seseuatu tidak ada jalan lain lagi kecuali mengambil dari luar. Keyakinan demikian akan menghasilkan praktek yang bertabrakan dengan kepentingan orang lain yang memiliki keyakinan serupa. Di level internal, keyakinan demikian sering membuat orang merasa tidak punya alasan untuk menghargai dirinya secara positif, misalnya saja munculnya perasaan self-laziness atau "The 'I cannot' attitude".

Pede yang yang menyimpang (contoh: ego-centered, dll.) juga berangkat dari sumber perasaan yang merasa takut secara berlebihan (feeling of fear). Asumsi personal yang sering dipakai adalah ketika kita mulai merasa bahwa sumber keamanan (penyelesaian masalah) berada di luar diri dan sangat terbatas jumlahnya sehingga sedikit saja tersenggol oleh kepentingan atau keinginan orang lain akan membuat  kita merasa sulit memaafkan orang tersebut seumur hidup. Kita menjadi cepat tersinggung dengan letupan amarah yang tidak terkontrol. Rasa takut yang negatif juga sering membuat pagar mental berupa ketakutan menghadapi tantangan yang merupakan risiko hidup. Kedua perasaan itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan rasa rendah diri (inferioritas) yang bisa ditampilkan dalam bentuk perilaku, sifat, atau sikap secara aggressive atau submissive.

Orang yang pede dalam arti 'self confidence' bukanlah orang yang  tidak memiliki rasa takut atau rasa kurang tetapi ia memiliki kemampuan bagaimana   menguasainya (self mastery) agar tetap berada dalam norma kadar yang bisa dikendalikan. Asumsi dasar yang digunakan berangkat dari perasaan memiliki kemampuan (self-sufficient) untuk mengatasi tantangan dan merealisasikan apa yang diinginkan. Rasa Percaya diri seperti inilah yang sebenarnya kita butuhkan. Bedanya lagi, pede yang terakhir adalah murni berupa pencapaian kualitas hidup yang diraih seseorang melalui proses usaha, sementara pede yang menyimpang bisa kita katakan sebagai limbah yang berarti untuk mencapainya tidak diperlukan proses atau usaha pun.
 

Kompas 


Di dalam diri kita sebenarnya sudah diciptakan kompas (patokan) yang dapat  membedakan antara pede  yang meyimpang dan pede yang benar-benar kita butuhkan, yaitu:
1.                  Perasaan (Emotional)
2.                  Hati (Spiritual)
3.                  Akal (Intellectual)
Ketiga kompas di atas adalah anugerah (kemampuan potensial). Agar bisa  bekerja membantu kita dibutuhkan syarat yaitu menciptakan usaha untuk mencerdaskannya secara terus-menerus.

Perasaan adalah perangkat internal untuk merasakan impuls atau stimuli (godaan & tawaran) yang dapat membedakan bad dan good. Perasaan tidak memiliki mata tetapi lebih banyak memiliki telinga, 'pendengaran' sehingga ketika sensitivitasnya tajam (dicerdaskan) akan membuat orang langsung  bisa merasakan mana pede yang good (confidence) di antara pede yang bad (egoism) meskipun tidak kelihatan.

Hati berfungsi untuk memaknai kebenaran  hukum alam yang sudah diformalkan atau yang belum. Meskipun  manusia bisa meng-elaborasi kebenaran  menjadi sekian bentuk sesuai kepentingan masing-masing, tetapi hatilah yang akan berbicara dengan "suara hati kecil".  Dilihat dari sebutannya saja sudah bisa ditebak mengapa kita jarang mendengarkannya. Sudah lokasinya di dalam, bentuknya kecil selain itu suaranya pun kecil. Kalau tidak dicerdaskan akan membuat telinga kita (perasaan) sulit mendengarkan suara hati apalagi penglihatan.

Akal berfungsi untuk menalar  antara materi yang tepat (correct) dan yang tidak tepat (incorrect). Akal memiliki banyak penglihatan sehingga dikatakan 'the window', pintu exit-permit yang bisa menyumbangkan muatan perasaan atau keyakinan. Patut diakui di antara penyebab penyimpangan adalah adanya pengetahuan oleh akal yang tidak bisa menghasilkan pemahaman personal secara definitive antara rasa percaya diri dan egoisme. Pengetahuan yang rancau, abstrak, dan berada pada level umum sulit mendorong kita pada  keputusan hidup yang definitif. Walhasil kita berperilaku egois karena egois yang kita pahami adalah egois dalam pengertian rasa percaya diri menurut kita.

Ketiga kompas internal di atas  dapat bekerja secara proporsional (saling mendukung-melengkapi) apabila usaha yang kita jalankan dalam rangka mencerdaskan tidak terjadi  anak-emas dan anak tiri atau anak yatim. Pengalaman mengajarkan, perlakuan dikotomis atas kompas internal di atas melahirkan sifat, watak dan perilaku yang kontradiktif  dan pincang. Ada orang yang sebagian waktunya digunakan berada di tempat ibadah dengan khusuk tetapi giliran punya persoalan air dengan tetangga perasaannya tidak berfungsi secara proporsional.

Beberapa Saran 


Penyimpangan adalah  persoalan manusiawi dan normal tetapi yang sering bikin abnormal adalah kebablasan yang berkelanjutan dan tidak kita perbaiki. Beberapa materi pembelajaran berikut dapat kita jadikan acuan untuk mempertebal rasa percaya diri agar tidak menyimpang ke praktek yang tidak diinginkan:

1.  Kebiasaan

Memiliki kebiasaan untuk mencerdaskan pikiran, perasaan, dan hati adalah kebutuhan mutlak. Tanpa dicerdaskan tidak berarti stabil sebab impuls dan stimuli dunia terus berubah di mana kalau kita tidak diiringi dengan perubahan diri akan mudah terjebak. Pikiran yang dicerdaskan dengan pengetahuan akan memperbaiki sudut pandang yang akan menjadi sumber rasa percaya diri. Perasaan yang dicerdaskan akan memperbaiki pemahaman 'merasakan' apa yang terjadi pada diri sendiri, orang lain dan dunia (wilayah kita). Hati yang dicerdaskan dengan kebiasaan memaknai akan mempertebal keyakinan bahwa semua yang kita lakukan baik atau buruk, kecil atau besar pada akhirnya akan mendapat balasan.
 
2.  Kekuatan 

Rasa percaya diri identik dengan kekuatan pribadi (personal power) yang bisa kita bangun dengan menggunakan dua jurus yaitu menyerang dan mempertahankan. Untuk mempertebal rasa percaya diri, jurus menyerang  harus kita gunakan untuk melawan kecenderungan internal yang menawarkan godaan untuk menyimpang sementara jurus mempertahankan  kita gunakan untuk memperkuat pertahanan dari serangan luar. Penggunaan yang salah dengan membalik fungsi  akan memperlemah personal power yang berarti dapat memperlemah rasa percaya diri.

3.  Komitmen

Memiliki komitmen untuk merealisasikan gagasan ke tindakan secara sirkulatif bisa mempertebal rasa percaya diri dengan syarat sampai mendapat apa yang disebut "the moment of truth" atau sampai benar-benar berhasil. Apa yang sering menjadi persoalan adalah kita sering menggunakan ideology "mencoba" tanpa komitmen sampai berhasil. Ideologi demikian sulit diharapkan bisa mempertebal rasa percaya diri. Bahkan kalau sering gagal lalu kita tinggalkan dengan mengganti yang lain dan akhirnya gagal juga malah akan membuat kita ragu-ragu.  
Sekelumit penjelasan di atas hanyalah mewakili dari sekian tampilan monitor sikap, perilaku dan sifat yang awalnya dibedakan pada tingkat sumber motif di dalam. Tidak kelihatan, kecil, dan sering kita anggap tidak membahayakan bagi diri kita apalagi orang lain. Meskipun demikian, Tuhan telah memberikan perangkat yang bisa membenahi sebelum akhirnya tampil di monitor. Di luar ketiga perangkat yang sudah ada, terdapat satu perangkat yang inti, yaitu kemauan. Semoga berguna.

Mencintai Pekerjaan


Konon pada tahun 1998 Wall Street Journal pernah membuka polling untuk menjaring pendapat umum tentang bagaimana orang menerima pekerjaan atau profesi yang saat ini dimiliki. Hasilnya, lebih dari 50 % responden menyatakan akan meninggalkan pekerjaan yang saat ini di tangan apabila (andaikan saja) mereka memiliki kesempatan untuk pindah atau ada peluang untuk ganti pekerjaan / profesi (Warshaw: 1998).

Hasil polling ini meskipun belum tentu mutlak benar atau mungkin belum mewakili pekerja secara keseluruhan, tetapi oleh beberapa pakar pengembangan karir dijadikan petunjuk  untuk bahwa ternyata banyak sekali orang yang tidak mencintai apa yang dilakukan, tidak mencintai profesi atau pekerjaan yang saat ini dimiliki.

Bagaimana kalau polling itu diadakan di sini?
Kalau kita menggunakan indikator umum (logika matematis) angkanya bisa jadi bertambah. Mengapa? Di negara yang sudah punya kemampuan lebih bagus dari kita dalam melayani kepentingan publik saja masih ditemukan kenyataan seperti itu, apalagi di kita...? Tetapi logika matematis itu bisa jadi patah di lapangan kalau kita bicara urusan perasaan atau kalau kita menggunakan indikator khusus yang disebut paradoks kemajuan.

Contoh dari paradok itu misalnya saja belum tentu kalau orang yang punya banyak uang itu lebih bahagia dengan orang yang punya uang sedikit, meskipun kalau kita tidak memiliki uang, kebahagian itu juga terancam. Belum tentu juga orang yang hidup di negara maju bisa dipastikan lebih bahagia dengan orang yang hidup di negara berkembang.

Terlepas dari sejumlah kemungkinan itu, namun ada yang masih bisa kita pastikan bahwa baik di Amerika dan di Indonesia, tetap akan ada sekelompok orang yang merasa tidak bahagia atau tidak sanggup mencintai pekerjaan atau profesi yang digeluti saat ini. Padahal baik secara filosofis keduanya dapat dikatakan, bahwa mencintai pekerjaan adalah kekuatan utama untuk meraih prestasi di bidang yang sudah kita pilih saat ini atau nanti.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh Doris Lee McCoy, Ph.D penulis buku "Mega Traits for Successful People" (Career Life Institute: 1994) terhadap 1000 orang Amerika yang berprestasi tinggi di bidangnya, ternyata urusan mencintai pekerjaan ini menduduki urutan pertama, yang membedakan antara mereka dengan kebanyakan orang di lingkungannya. Secara keseluruhan, mereka yang berprestasi tinggi itu menikmati apa yang dilakukan (enjoy their work) dengan sepenuh hati (total involvement).   

Meskipun wawancara itu dilaksanakan di Amerika, tetapi karena ini urusan prinsip yang berlaku secara universal, maka hampir bisa dipastikan akan tidak jauh berbeda andaikan saja wawancara itu dilakukan terhadap sejumlah orang Indonesia yang berprestasi. Di samping itu, tanpa wawancara pun sebetulnya naluri kita sudah bisa berbicara bahwa yang namanya cinta pekerjaan, cinta profesi atau ke-sepenuhan-hati itu nampaknya sudah menjadi semacam "kemutlakan".  Jika semuanya sudah kita ketahui bersama namun pada prakteknya pengetahuan itu masih kurang sakti menolong kita untuk bisa mencintai pekerjaan yang kita tekuni, lantas apa yang menyebabkan? Di sinilah nampaknya kita perlu sedikit membahas tentang bagaimana rasa tidak bahagia dan rasa tidak cinta ini berproses di dalam diri kita.


Pembelajaran


Will Rogers pernah mengatakan: "walaupun anda saat ini sudah berada di jalur yang benar tetapi kalau yang anda lakukan hanya diam saja, maka perubahan akan membawa anda ke tempat yang tidak aman".  Pendapat ini bisa kita jadikan petunjuk bahwa terlepas apakah kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai atau tidak, tetapi kalau dinamika kita mandek, perubahan akan membawa kita pada konflik-diri.

Pembelajaran yang mungkin kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita dari kemandekan (stagnasi) adalah menyusun Tangga Dinamika yang sesuai dengan ukuran diri kita dengan melakukan gerakan berikut ini:

1.  Menaikkan Keinginan

Kalau dulu kita pernah punya keinginan untuk menjadi karyawan atau keinginan untuk memiliki sesuatu - katakanlah begitu - dan hari ini keinginan itu sudah kita wujudkan, maka kita perlu menaikkan lagi standar keinginan itu ke tingkat yang lebih atas yang kira-kira secara rasional bisa kita capai, misalnya saja menjadi supervisor atau manajer, supaya kemandekan tidak mudah menguasai kita. Keinginan pada dasarnya adalah motivasi penggerak yang mendorong niat kita untuk berprestasi.

Tetapi yang perlu kita catat, adalah pentingnya kesadaran untuk membuat manajemen aktivitas yang diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik jangka pendek (dan rutin) maupun jangka panjang - serta aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.

2.  Menaikkan Pengetahuan

Mungkin kalau sekedar menaikkan keinginan untuk menjadi atau untuk memiliki ini mudah dan sudah dilakukan oleh hampir semua orang. Tetapi yang tidak dilakukan oleh hampir semua orang atau bahkan hanya dilakukan oleh sedikit orang adalah berusaha mencari pengetahuan yang cocok untuk digunakan sebagai alat mewujudkan keinginan itu.

Merujuk pada hasil temuan Aristotle, formula untuk berprestasi itu ada dua yaitu: rumusan tujuan yang jelas tentang apa yang kita inginkan untuk menjadi atau memiliki, dan yang kedua, menemukan metode yang cocok. Metode ini banyak dan salah satunya adalah ilmu pengetahuan yang tepat untuk keadaan diri kita.

Fungsi pengetahuan bagi keinginan kita adalah memberikan lebih banyak pilihan strategi dalam mewujudkan keinginan yang tidak hanya itu-itu saja. Selain itu, fungsi lain yang dimainkan oleh bertambahnya pengetahuan di kepala kita adalah memperbaruhi diri kita. Seperti kata Atkin, Ilmu pengetahuan yang kita dapatkan tidak saja membuat kita memiliki pengetahuan tetapi juga memperbaruhi definisi kita tentang diri kita.

3.  Menaikkan  Kemampuan

Sudah pasti akan ada gap (jurang pemisah) antara keinginan ideal dan kemampuan faktual kita dan sudah pasti akan ada gap antara pengetahuan yang baru kita dapatkan dengan kenyataan  yang kita hadapi di bidang kita. Gap ini menawarkan pilihan antara: apakah kita akan menggunakan gap itu untuk mencerahkan diri kita atau kita akan menggunakan gap itu untuk “menggelapkan” diri kita.

Supaya gap itu bisa berfungsi mencerahkan, maka jalan yang tersedia hanya satu yaitu menjalankan agenda pembelajaran secara alamiah (sedikit demi sedikit tetapi terus menerus). Gap antara kemampuan dan keinginan hanya bisa dikuasai dengan cara menaikkan kemampuan. Kalau kemampuan kita tidak bertambah sementara kebutuhan dan keinginan kita terus bertambah, akhirnya konflik diri melanda. Gap antara pengetahuan dan kenyataan hanya bisa didamaikan dengan praktek yang mengikuti metode air hujan yang menetes dari atas ke bawah atau dari konsep ke praktek.

Walhasil, kalau kita coba menghitung dengan kalkulasi dagang, akan berbeda di tingkat keuntungan antara kita mencintai pekerjaan lebih dulu dan menemukan pekerjaan yang kita cintai dulu, meskipun keduanya benar. Mendahulukan cinta akan memberikan keuntungan ganda buat kita, terlepas apakah kita saat ini sudah menemukan pekerjaan yang kita cintai atau belum. Sementara mendahulukan pekerjaan hanya akan memberikan satu keuntungan dan itupun masih dengan syarat: Asalkan kita bisa menemukan pekerjaan yang kita cintai.
Herman Chain akhirnya menyimpulkan: "Kesuksesan bukanlah kunci kebahagian. Kebahagianlah yang menjadi kunci kesuksesan. Jika kamu mencintai apa yang kamu lakukan maka kamu akan sukses". Puisi cinta mengatakan: "Anda tidak mencintai gadis karena dia cantik  tetapi  si dia menjadi cantik karena anda mencintainya". Benarkah begitu...?


Logika Telur Ayam


Mana yang benar menurut praktek hidup antara kita menyatakan bahwa "kalau saya mendapatkan pekerjaan yang saya cintai maka saya akan mencintai pekerjaan itu"  ATAU  "kalau saya mencintai pekerjaan yang ada saat ini maka cinta itu akan mengantarkan saya untuk mendapatkan pekerjaan yang saya cintai...?" Inilah yang kira-kira saya maksudkan logika telor-ayam di sini.

Pernyataan pertama bisa jadi benar karena untuk orang tertentu dalam keadaan tertentu dengan alasan tertentu dan tujuan tertentu, mendapatkan pekerjaan yang dicintai memang cukup mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mencintai pekerjaan. Tetapi ya itu tadi: hanya berlaku untuk keadaan yang sifatnya sangat terbatas (baca: pengecualian)

Kalau kita merujuk pada hasil temuan sejumlah pakar yang dikutip dalam catatan ERIC Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education (Columbus OH: 2002), akan kita dapatkan bahwa cinta dan tidak cinta pekerjaan (di luar batasan tertentu itu), lebih banyak disebabkan oleh apa yang terjadi di dalam diri (What is happening IN us), bukan tergantung pada apa yang menimpa kita (What is happening ON us), terlepas dari perbedan istilah tehnis yang mereka gunakan.

Studi ilmiah membuktikan, bahwa penyabab utama mengapa kita tidak sanggup mencintai pekerjaan adalah konflik diri. Ini bukan masalah ada gejolak dan tidak ada gejolak, sebab tidak mungkin orang hidup tanpa gejolak. Dari mana konflik-diri ini muncul? Masih merujuk pada hasil temuan yang sama, konflik diri ini dimunculkan oleh mandeknya roda pengembangan diri (developmental process factors). Kalau kita berhenti mengembangkan diri kita, entah itu melalui pekerjaan atau pendidikan, maka cepat atau lambat kita akan diterpa oleh konflik diri,  seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan keinginan kita. 

Lantas, mengapa kita mandek? Bicara maunya kita, mungkin tidak ada orang yang menghendaki kemandekan. Pasti semua orang ingin maju, dinamis, proaktif, dan progresif. Jika  dalam prakteknya kemandekan itu terjadi, lantas apa yang menjadi akar penyebabnya? Ajaran agama menunjukkan kita bahwa kemandekan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memilih ke mana penglihatan pikiran ini kita fokuskan.

Kalau kita mengarahkan penglihatan ini pada hal-hal yang berbau “kurang” tentang diri kita maka kesimpulan yang tercetak di kepala kita adalah kesimpulan minus tentang kita. Kesimpulan minus ini akan kita jadikan alat untuk melihat sesuatu di luar diri kita termasuk pekerjaan. Penglihatan kita tidak bisa melihat selain apa yang sudah dipahami oleh pikiran kita. Nah, kalau terhadap diri kita saja pikiran ini sudah punya kesimpulan minus, maka apalagi terhadap pekerjaan? Inilah kira-kira kalau diuraikan urut-urutannya secara sekilas.

Alasan lain yang juga mendukung pendapat para pakar itu, adalah logika kita bersama. Katakanlah bahwa hari ini kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai, tetapi kalau roda dinamika di dalam diri kita berhenti, maka cepat atau lambat pekerjaan itu akan hilang keindahannya di mata kita. Sebab, pasti di dalam pekerjaan yang kita cintai pun akan tetap ada bagian yang tidak kita cintai dan ini hanya bisa diharmoniskan oleh usaha pengembangan diri dalam hal kemampuan menyelesaikan masalah yang muncul (problem solving skill).

Alasan lain adalah fakta alamiah. Andaikan dunia ini selalu tunduk pada rencana kita, tentu saja perdebatan telor-ayam di atas  akan gugur. Semua orang sudah pasti menginginkan agar kita didatangi lebih dulu oleh sesuatu yang kita cintai. Hanya saja praktek hidup tak selamanya tunduk pada rencana kita dan seringkali memberikan kita sebuah tawaran memilih yang kira-kira kalau dikalimatkan akan berbunyi: Apa yang akan anda pilih ketika anda tidak mendapatkan secara utuh apa yang anda inginkan?

Membangun Kepemimpinan Hidup


Apakah kepemimpinan itu bakat yang dibawa sejak lahir atau diciptakan melalui proses pembelajaran? Perdebatan tersebut sebenarnya sudah berakhir dengan kesimpulan bahwa seorang pemimpin harus diciptakan melalui proses pembelajaran, pelatihan, atau pendidikan. Kesimpulan itu punya dalih sangat kuat termasuk salah satunya berupa The Law of Universe bahwa setiap orang akan dinobatkan menjadi pemimpin terlepas ia siap atau tidak siap. Dalam kehidupan anda, yang paling hampir bisa dipastikan, anda akan menjadi pemimpin keluarga.
 Setiap orang ditakdirkan menjadi pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas. Tidak saja negara yang diwarnai demontrasi brutal, tetapi institusi keluarga pun jika kepemimpinan tidak ditemukan, maka kesanggupannya hanya melahirkan bayi-bayi biologis tanpa warisan nilai. 

Seberat apapun tugas anda sebagai pemimpin,  terlepas dari formal - non formalnya atau skala besar - kecilnya, maka yang perlu  anda lakukan adalah menciptakan persiapan sempurna menjelang peluang menjadi pemimpin datang. Persiapan adalah bagian dari solusi mental sebelum solusi konkrit harus anda lakukan. Bahkan seringkali peluang apapun baru bisa anda dapatkan setelah anda memiliki persiapan mental yang layak untuk menerimanya.  Sayangnya bagi sebagain besar individu terkadang justru peluang yang dikejar habis-habisan sementara  persiapan mental tidak dilakukan. Contoh kecil misalnya saja dalam pernikahan. Kenyataannya, faktor yang menjadi tolak ukur bagi suatu pernikahan bukanlah usia atau materi meskipun keduanya  syarat mutlak, tetapi tetapi lebih itu adalah persiapan untuk menerima moment tersebut. 

Menyangkut masalah persiapan maka pilihan sepenuhnya berada di bawah kontrol anda; apakah anda mempersiapkan diri sebagai pemimpin atau sama sekali tidak mempersiapkannya. Moment  tersebut akan menjemput anda dan konsekuensinya tergantung dari pilihan yang anda ciptakan. Karena kepemimpinan hidup berupa achievement, bukan gift, maka yang perlu anda persiapkan adalah melakukan perbaikan kepemimpinan dari dalam diri anda. Tentang bagaimana proses alamiah yang harus anda jalani, ikutilah beberapa langkah berikut:

1.  Belajar Siap Dipimpin 

Dalam hal kepemimpinan, dunia ini  hanya memberikan dua pilihan antara anda dipimpin atau memimpin sesuai dengan kapabilitas,  kualitas,  dan kekuatan anda. Kekacauan akan segera terjadi ketika anda dipimpin tetapi melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan pemimpin atau sebaliknya.

Untuk menjadi pemimpin, maka anda harus mengawalinya dengan kesiapan untuk mau dipimpin. Dalam organisasi, bawahan yang tidak siap dipimpin akan kehilangan kesempatan emas untuk mempelajari bagaimana kelak ia akan menjadi seorang pemimpin. Seluruh waktu dan energinya dihabiskan hanya untuk menciptakan reaksi-reaksi sesaat yang sia-sia. Di bidang politik seringkali terjadi kepemimpinan yang diraih dengan cara yang melupakan proses kesiapan dipimpin akan berakhir dengan cara yang sama dengan ketika ia mendapatkannya.

Sebelum anda memimpin orang lain,  maka wujud dari kesiapan untuk dipimpin adalah begaimana memimpin diri anda (Personal Mastery). Wilayah yang harus anda kuasai adalah self understanding (pemahaman diri) dan self management (pengelolaan diri) yang meliputi perangkat nilai hidup, tujuan hidup, misi hidup anda. Kedua kemampuan tersebut akan mengantarkan anda menuju pola kehidupan beradab dan efektif. Dengan kata lain, self understanding dan self management pada saat anda dipimpin akan menciptakan tradisi hidup sehat di mana fokus adalah tujuan akhir, bukan lagi egoisme posisi jangka pendek tetapi realisasi misi. Jika tujuan akhir anda adalah kemajuan dan kebahagian, maka tinggalkan tradisi "Ngerumpi" tentang begitu jelasnya kesalahan hidup yang dilakukan oleh pemimpin anda sehingga akan menjadikan anda kabur melihat sesuatu yang perlu anda lengkapi untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin.

2.  Belajar Mampu Memimpin 

Sebutan pemimpin terlepas dari perbedaan definisi, perbedaan status formal dan non-formal, perbedaan strata atau job title-nya, mengarah pada satu pemahaman sebagai sumber solusi suatu urusan. Jadi pemimpin adalah orang yang isi pikirannya berupa solusi bukan masalah yang ia rasakan. Maka syarat mutlak yang bersifat fundamental adalah memiliki paket keahlian dan paket  kekuatan. Paket keahlian merujuk pada kualitas personal yang sifatnya internal mulai dari skill, knowledge, attitude,  atau lainnya sedangkan paket kekuatan merujuk pada power  yang bisa berbentuk kekayaan, networking, atau mungkin kekuatan fisik.  Keahlian berguna untuk memimpin kelompok ahli sementara kekuatan berguna untuk memimpin khalayak umum.

Kedua paket tersebut yang menjadikan pemimpin sebagai pemilik suatu urusan bukan lagi menjadi bagiannya, mulai dari urusan pribadi, khalayak, system, atau kiblat hidup orang banyak. Karena sebagai pemilik urusan, maka harga seorang pemimpin senilai dengan harga jumlah orang - orang yang dipimpinnya. Satu Mahatma Gandhi atau satu Soekarno nilainya sama dengan jutaan manusia yang mengkuasakan urusan kehidupan kepadanya.

Di dunia ini tidak ditemukan calon pemimpin yang siap pakai. Tetapi bisa diselesaikan dengan cara belajar mengembangkan diri. Pemimpin yang berhenti mengembangkan keahlian dan kekuatannya maka akan muncul fenomena di mana tantangan kepemimpinan  lebih besar dari kapasitasnya sehingga akan cepat sampai pada titik di mana ia harus di-disqualified-kan untuk segera diganti. Mengapa? Karena semua keputusan yang dihasilkan dari kepemimpinannya ibarat bumbu ayam goreng yang hanya dipoleskan pada permukaan sehingga rasanya tidak menyeluruh atau meresap hingga ke dalam daging ayam tersebut.

Setiap orang tua pernah menjadi anak-anak, setiap atasan pernah menjadi bawahan tetapi tidak semua orang tua dan atasan mampu memimpin ketika ia dinobatkan menjadi pemimpin. Banyak alasan mengapa hal itu terjadi yang antara lain karena keputusan kepemimpinannya kehilangan konteks atau keahlian dan kekuatan memimpin yang digunakan sudah tidak lagi berlaku pada zamannya alias sudah kadaluwarsa. Ketika anda memimpin pahamilah isi pikiran anda ketika menjadi bawahan; ketika anda menjadi atasan jangan lantas melupakan bagaimana anda dahulu menjadi bawahan. Selain itu gunakan keahlian dan kekuatan yang masih relevan untuk kondisi saat itu.

3.  Materi Kepemimpinan

Institusi atau organisasi apapun yang anda pimpin, termasuk kehidupan anda, membutuhkan materi yang bisa dipelajari untuk kemudian diajarkan kepada pihak yang anda pimpin. Karena semua orang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin, maka secara pasti anda  memiliki materi kepemimpinan hidup yang bisa diajarkan. Kendalanya, di manakah file materi hidup itu anda simpan? Filing materi yang tidak sistematik akan menyulitkan anda untuk me-recall-nya ketika materi tersebut harus anda ajarkan. Karena tidak anda temukan file-nya, maka setiap kesalahan orang yang anda pimpin akhirnya diselesaikan tergantung mood

Kenyataan membuktikan, ketika orang tua tidak menemukan file materi untuk diajarkan kepada putra-putrinya; ketika atasan tidak menemukan file materi untuk diajarkan kepada bawahannya, maka  putra-putri atau bawahan anda akan diajar oleh pihak lain. Hal ini tidak menjadi masalah selama pengajaran pihak lain mendukung harapan anda, tetapi bagaimana kalau pengajarannya bertentangan seratus persen dengan nilai, keyakinan, visi, misi anda? Bukan lagi  sekedar persoalan yang pantas disalahkan tetapi juga terkadang memalukan. Putra-putri perlu dididik, bukan sekedar diberi makan; bawahan perlu diberdayakan, bukan sekedar diawasi sebab anda di mata mereka adalah pemimpin yang berarti "The world".

Di bidang bisnis anda pasti sudah mengenal produk perusahaan raksasa bernama Coca Cola, di mana Roberto Goizueto menjadi CEO-nya. Sebagai CEO, ia dikenal sebagai sosok yang sering menceritakan kepada bawahan mengenai bagaimana kehidupan pribadinya di masa muda bersama sang kakek yang menekankan pentingnya cash flow dan kesederhanaan. Begitu juga Phil Knight, CEO dan Chairman NIKE, yang selalu mengobarkan semangat kemenangan perusahaan yang dipimpinnya itu. Di bidang politik,   Martin Luther yang dengan pidatonya berjudul "I Have a Dream" telah memobilisasi power image mengenai kesetaraan kulit hitam dan putih di Amerika.  Noel M. Tichy dalam artikel yang diterbitkan oleh The Drucker Foundation and Jossey-Bass, Inc, 1997, menyebutnya dengan istilah "The Power of Story Telling".
Bagi orang tua, materi yang anda ajarkan kepada putra-putri itu punya daya akses langsung ke karakter melalui alam bawah sadar. Inilah sebenarnya makna yang harus dipahami ketika anda  setuju bahwa keluarga punya peranan penting membentuk karakter anak. Terkadang anda tertipu dengan rule of habit yang sudah habis masa berlakunya yang mengatakan bahwa buah akan jatuh tidak jauh dari pohonnya. Padahal ada angin kencang yang membawa buah itu jatuh ke tempat yang jauh dari pohonnya. Ini berlaku juga untuk wilayah lain mulai dari bisnis, politik, pendidikan dan lain-lain. Oleh karena itu siapkan diri anda dengan materi dan file yang baik sehingga akan menghasilkan buah yang baik pula. Semoga berguna.