Cari Blog Ini

Jumat, 13 Januari 2012

Makna Letak Tahi Lalat



No.Letak Tahi LalatMakna
1. Tahi Lalat di Ujung Mata Kanan/KiriDapat Dipercaya tapi Pendiam
2. Tahi Lalat di Pangkal HidungPandai dan Baik Hati
3.Tahi Lalat di Alis KananSuka Menolong
4. Tahi Lalat di Alis KiriDicintai Banyak Orang
5. Tahi Lalat di HidungBanyak Rezeki
6. Tahi Lalat di Hidung BawahPandai Bicara, Banyak rezeki
7. Tahi Lalat di Bibir AtasCerdas, Banyak Rezeki
8. Tahi Lalat di Bibir BawahBaik Hati
9. Tahi Lalat di Pipi Kanan/KiriDermawan
10. Tahi Lalat di Pipi TengahDisukai
11. Tahi Lalat di Ujung MulutPandai Bicara
12. Tahi Lalat di DaguPandai Bicara dan Jujur
13. Tahi Lalat di Telinga KananKeras dan Gampang Emosi
14. Tahi Lalat di Telinga KiriPintar dan Jujur
15. Tahi Lalat di Leher Bagian DepanBijaksana
16. Tahi Lalat di Leher Bagian BelakangKecil Hati, mudah Putus asa
17. Tahi Lalat di Bahu KananPendiriannya Teguh
18. Tahi Lalat di Bahu KiriPikirannya Selalu Ruwet
19. Tahi Lalat di Buah Dada Kanan/KiriNafsunya Besar
20. Tahi Lalat di Antara Buah DadaBaik Hati
21. Tahi Lalat di PunggungDapat di Percaya
22. Tahi Lalat di tengah Perut (sekitar Pusar)Dapat di Percaya
23. Tahi Lalat di PinggangJujur dan Tabah
24. Tahi Lalat di PantatSering Menderita
25. Tahi Lalat di Pangkal PahaTangkas dan Banyak Rezeki
26. Tahi Lalat di Daerah KemaluanNafsu Besar
27. Tahi Lalat di Lutut DepanKuat Berjalan
28. Tahi Lalat di Lutut Sebelah Dalam (Lipatan/belakang lutut)Hatinya Tidak Tetap
29. Tahi Lalat di BetisDapat di Percaya
30. Tahi Lalat di Tulang Kaki Kanan (Tulang Kering)Pemboros
31. Tahi Lalat di Tulang Kaki KiriPemberani
32. Tahi Lalat di Pergelangan KakiKuat Berjalan
33. Tahi Lalat di TumitTidak dapat di Percaya
34. Tahi Lalat di Jari-Jari KakiSuka Bekerja
35. Tahi Lalat di Lengan Kanan/KiriSuka Bekerja
36. Tahi Lalat di Telapak KakiBaik Hati
37. Tahi Lalat di Telapak Tangan KananPandai Menyimpan Harta
38. Tahi Lalat di Telapak Tangan KiriPemboros
39. Tahi Lalat di Telapak BelakangKuat Kaya
40. Tahi Lalat di Ujung SikuBaik Hati
41. Tahi lalat di Siku Bagian dalamSelalu Tabah
42. Tahi Lalat di jari-jari TanganBanyak Rezeki
43. Tahi Lalat di Pergelangan TanganPemboros
44. Tahi Lalat di Ubun – UbunTamak akan harta benda, Jahat, dan Jahil
45. Tahi Lalat di Unyeng – Unyeng (Puser di kepala)Pendiam tapi Banyak Akal dan Cerdas
46. Tahi Lalat di Kepala Bagian BelakangDapat di Percaya, Pemberani, dan Sabar
47. Tahi Lalat di Kepala Sebelah KiriWataknya Buruk
48. Tahi Lalat di Dahi Kanan atau KiriKepribadiannya Jelek
49. Tahi Lalat di Tengah- Tengah Dahi (Jidat)Pandai dan Baik Hati
50. Tahi Lalat di Pelipis Kanan/KiriBanyak Rezeki
51. Tahi Lalat di Kelopak Mata Atas Kanan/KiriPandai Membawa Diri
52. Tahi Lalat di Kelopak Mata Bawah Kanan/KiriSering Menderita
53. Tahi Lalat di Kepala Sebelah KananBanyak Rezeki

Anak Tidak Mau Sekolah


Ketika anak Anda mogok sekolah, bagaimana Anda mengatasinya?
Baru beberapa hari tahun ajaran sekolah dimulai, Reza tiba-tiba saja mogok sekolah. Ketika ditanya masalahnya, ia emoh cerita. Esoknya, Sang Ibu mengetahui dari teman sekelas Reza, kalau kemarin Reza baru dimarahi gurunya karena lupa membawa buku tugas.
Mungkin ini hanya satu dari beberapa alasan anak Anda mogok sekolah. Namun, apapun masalahnya, apa yang Anda lakukan jika anak Anda mengalami ini? Pricyla Trimeilinda, P.Psi, Psikolog , dari Psikolog Anak Siloam Hospitals Lippo Karawaci  membagikan kunci jawabannya kepada Anda.
Cemas Karena ‘Berpisah’
Menurut Pricyla, kategori usia anak yang suka melakukan mogok sekolah adalah anak-anak yang masih sekolah di tingkat playgroup , TK, atau SD. Penyebabnya apa saja?
“Penyebab anak mogok sekolah ada dua hal, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal itu biasanya ada di dalam diri Si Anak (berhubungan dengan karakteristik anak), situasi rumah, dan merasa cemas karena harus berpisah dengan salah satu orang terdekatnya (separation anxiety ), seperti ibu atau pengasuhnya,” papar Pricyla.
Separation anxiety  ini biasanya terjadi pada anak preschool  (TK). Ini terjadi karena anak terlalu dekat (attached ) dengan ibu atau pengasuhnya. Ketika ia harus masuk ke dalam kelas, di mana hampir semua orang yang ada di dalam kelas itu tak dikenalnya, ia akan merasa tidak nyaman. Ia takut karena sosok atau figur separation anxiety -nya (significant other ) tidak ada. Itulah yang membuat Si Anak memilih tidak mau jauh dari rumah dan menolak sekolah lagi.
Sedang faktor penyebab eksternal, lebih ke masalah lingkungan sekolah yang membuatnya merasa tidak nyaman. Misalnya, ternyata mainan di rumahnya lebih banyak dan menarik dibanding di sekolah, teman-teman di sekolah suka mengisenginya (bully ), anak susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah, atau gurunya galak.
Kalau sudah begini, orang tua harus berlaku cermat dalam menyikapinya. Dan, jangan pernah menganggap alasan anak mogok sekolah sebagai sesuatu yang remeh.
Jangan Omeli Anak
Meskipun Anda kesal ketika anak mogok sekolah, jangan pernah memaksa dan mengomeli anak ketika mereka memilik mogok sekolah.
Pernyataan semacam, “Kok, kamu begitu sih, Nak?” “Anak-anak yang lain saja sekolah, kok kamu enggak mau?” hanya akan membuat anak semakin drop , takut, dan merasa dirinya tidak mampu sebagai seorang anak.
Orang tua harus ingat, cara berpikir anak, kan, belum sedewasa orang tua, karenanya ketika ia diperlakukan seperti itu ia akan berpikir, “Aku ini bagaimana, sih, kok enggak bisa melaksanakan keinginan Papa-Mama?”
Teknik Mundur Perlahan
Jika memang masalah ini terjadi pada buah hati, tentunya orang tua harus bisa melihat dan memahami penyebabnya.
Jika memang masalahnya karena separation anxiety , coba selesaikan dengan teknik ‘mundur berkala’ atau Systematic Desensitization .
Dengan teknik ini, ibu atau significant other -nya harus mulai mengurangi kehadirannya saat anak berada di sekolah. Jika biasanya Si Ibu mengantar anak sekolah hingga ke dalam kelas, esok cukup sampai di depan kelas. Beberapa hari kemudian kurangi lagi hingga ke parkiran sekolah dan mundur sampai anak turun dari mobil saja.
Biasanya, anak-anak yang terkena mogok sekolah ini adalah anak yang memiliki karakteristik cenderung pendiam. Di mana mereka butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Anak-anak seperti ini biasa juga diasosiasikan sebagai anak pemalu.
Diskusi Dua Arah
Jika memang masalahnya bukan karena separation anxiety , ajaklah ia berkomunikasi agar bisa mengindentifikasi perasaan anak. Usahakan diskusi dilakukan dari hati ke hati, dua arah, dan dengan menekankan mengapa anak mogok sekolah.
Dengan mengetahui masalahnya, Si Anak merasa orang tua mau mengerti dan orang tua juga tahu seperti apa sudut pandang anak.
Menyiapkan mental anak adalah yang terpenting. Orang tua jangan pernah lelah menyemangati anak berulang-ulang. Semangat itu bisa mengubah rasa takut anak menjadi motivasi positif baginya.
Beri Semangat
Ketika anak bisa menguasai rasa takutnya dan mau sekolah lagi, usahakan selalu memberikan mereka pujian kasih sayang, bukan hadiah barang karena yang dibutuhkan adalah dukungan mental.
Hadiah “verbal” ini misalnya seperti, “Mama bangga hari ini kamu enggak nangis.” Setiap kemajuan, sekalipun kecil, harus tetap dihargai. Meskipun esoknya Si Anak menangis lagi, ya tidak apa-apa, orang tua tetap harus sabar. Orangtua tetap harus membesarkan hatinya secara verbal, “Ayo, kamu pasti bisa!” Ingat, semangat itu mampu menumbuhkan motivasi anak.

Menggali Rasa Ingin Tahu Anak


Jangan bingung apalagi merasa terganggu menghadapi si kecil yang ceriwis dan banyak tanya. Kita harus optimal menggali rasa ingin tahunya agar ia tak jadi pribadi “kerdil”.
Kalau kita cuek atau malah merasa terganggu, bisa merugikan perkembangan wawasan dan kepribadian anak. Begitu pun kalau kita selalu melarang atau sebaliknya, kelewat melindungi. Nanti ia jadi enggak PD, lo, alias tak percaya diri, enggak punya inisiatif, selalu ragu-ragu, dan cenderung menarik diri dalam pergaulan. Kasihan, kan?
Itulah mengapa, tegas Evi Sukmaningrum, SPsi , orang tua harus bekerja keras menggali rasa ingin tahu anak sedini mungkin. Soalnya, di usia 2-3 tahun biasanya anak mulai pintar ngoceh banyak tanya mengenai hal-hal yang ada di sekitarnya. “Rasa ingin tahunya begitu besar karena ia tengah memasuki masa bermain. Anak mulai nenangga  dan berinteraksi dengan orang lain. Ia bertemu dengan hal-hal baru di luar rumah dan tak lagi terbatas pada lingkungan di rumahnya saja,” papar pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini. Meskipun sebetulnya rasa ingin tahu anak sudah muncul sejak usia 1 tahun. Hanya saja di usia itu anak masih sebatas observer . Gerakannya masih terbatas pada sekadar mengamati dan memegang, belum bisa mengekspresikan rasa ingin tahunya secara verbal. Itulah mengapa, komunikasi verbal yang intens antara orang tua dan anak sangat diperlukan karena akan melatih keterampilannya bicara, disamping dapat membantu mengembangkan kemampuan otaknya.
SERTAI ALAT PERAGA
Jadi, Bu-Pak, bila si kecil usianya sudah 2-3 tahun namun cenderung pasif dan enggak banyak tanya, saran Evi, cari tahu penyebabnya. Bila mengalami keterlambatan bicara seperti yang banyak terjadi, berarti hambatan untuk berbicara dan bertanya itulah yang harus ditangani lebih dulu. Lewat pemeriksaan yang lebih seksama di bagian saraf, misalnya, karena tak tertutup kemungkinan saraf-saraf yang berkaitan dengan perangkat wicaranyalah yang mengalami gangguan. Atau, bisa jadi otot-otot alat bicaranya, terutama lidah, belum matang atau berkembang sempurna.
Tapi kalau perkembangannya berjalan wajar, ketika ia mulai menunjukkan rasa ingintahu, kita harus peka dan segera merespon dengan memberi keterangan sejelas-jelasnya namun singkat dan disesuaikan dengan bahasa anak seusianya. Kita harus bangga dan senang, lo, kalau si kecil rajin bertanya dan ingin tahu sesuatu karena hal ini sangat positif. “Itu tandanya anak punya minat untuk bereksplorasi terhadap lingkungan sosialnya,” jelas Evi. Jadi, kalau ia tanya soal binatang tertentu yang dilihatnya di TV, misalnya, ya, jelaskan. Sebaiknya, penjelasan verbal disertai alat peraga atau contoh konkret agar bisa dimengerti anak.
Misalnya, mengajak anak ke kebun binatang, sehingga ia bisa melihat secara konkret seperti apa binatang yang pernah ditanyakannya itu. Terlebih lagi bila pertanyaannya membutuhkan penjelasan yang tak mudah. Misalnya, anak menonton adegan mesra di TV lalu tanya, “Kok, orang itu ciuman?” Jawablah, “Itu berarti sayang,” dan berikan contoh, “Nih, seperti Mama sekarang cium Ade, berarti Mama sayang Ade.” Bagi anak, jawaban dengan contoh tersebut sudah cukup. Ia belum bisa, kok, membedakan antara ciuman bermakna sayang dan yang penuh nafsu.
HARUS KONSISTEN
Kalau kita memang benar-benar sibuk dan tak bisa sejenak pun meninggalkan kesibukan tersebut untuk menjawab pertanyaan si kecil, saran Evi, cobalah beri pengertian lebih dulu kepadanya. Misalnya, “Sayang, sekarang Mama harus menyelesaikan dulu pekerjaan Mama. Nanti kalau sudah selesai, Mama akan jawab pertanyaan Ade, ya.” Dengan cara ini, jelas Evi, “anak sebetulnya juga terbantu untuk belajar memahami orang tuanya yang sibuk tanpa ia sendiri merasa di-reject  atau ditolak.” Tapi tentu kita harus konsisten. Setelah selesai dengan pekerjaan tersebut, kita temui si kecil dan katakan, “Nah, sekarang Mama sudah selesai dengan pekerjaan Mama. Tadi Ade mau tanya apa?”
Hasilnya akan sangat berbeda, lo, bila kita bersikap enggak konsisten. “Selain rasa ingin tahu anak terpenuhi, respon orang tua juga akan semakin mendekatkan hubungan dengan anak,” lanjut Evi. Tapi kalau kita enggak konsisten, hanya sekadar berjanji, maka yang ditangkap oleh anak adalah, “Ah, percuma. Mama bohong, kok.” Secara tak langsung, kita pun telah menanamkan nilai buruk tentang kejujuran. Iya, kan? Selain itu, tambah Evi, “anak akan mencari dari sumber lain bila pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahunya tak didapat dari orang tua, sementara sumber yang ia tanya belum tentu tepat.”
Jikapun sumbernya tepat, tapi kalau tanpa penjelasan yang memadai, bukan tak mungkin pemahaman si anak jadi meleset. Celaka, kan? Belum lagi kalau anak tahu-tahu “pandai” omong kotor atau terbiasa menggunakan umpatan kasar. Bukankah jadi makin gawat? Memang sudah selayaknyalah bila kita mau sedikit “berkorban” untuk menjawab rasa ingin tahu si kecil. Begitu, kan, Bu-Pak?
DORONG BERPIKIR KRITIS
Penting diketahui, pemenuhan rasa ingin tahu anak menjadi salah satu modal bagi perkembangan kecerdasannya. Itulah mengapa, anak yang kritis dan banyak tanya memiliki korelasi untuk bisa digolongkan sebagai anak cerdas. Artinya, anak yang cerdas menunjukkan rasa ingin tahu dan kemampuannya untuk berpikir kritis. “Bukan berarti anak yang enggak berpikir kritis itu enggak cerdas, lo. Kalau orang tua memberi stimulasi pada anak yang kelihatannya pasif, tentu akan sangat membantu,” tutur Evi.
Misalnya, “Ini apa, Nak?” sambil menunjukkan aneka benda berlainan bentuk dan warna. Atau, “ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengundang kemampuan berpikir anak.” Misalnya, “Kenapa binatang marah kalau diganggu?” Jadi, si kecil yang pendiam belum tentu enggak cerdas, ya, Bu-Pak. Bisa jadi ia pendiam lantaran Bapak-Ibu tak pernah meresponnya untuk banyak bicara ataupun mendorong berpikir kritis. “Yang juga kerap terjadi, orang tua cuma ‘menyuapi’,” tambah Evi.
Ada, lo, anak yang pintar dan tinggi daya tangkap serta daya ingatnya, namun enggak kritis. Lantaran, ibu-bapaknya cenderung cuma memberi tahu dan kerap memberi respon negatif bila anak banyak bertanya ataupun memarahi kala si anak protes. Bagaimana jika orang tua tak memberi respon positif karena tak tahu? Tak usah cemas. Menurut Evi, kita bisa, kok, mengejar ketertinggalan si anak.
Namun tentu dengan “bayaran” yang lebih mahal. Artinya, terang Evi, “proses pemahaman pengetahuan si anak akan lebih lambat dibanding teman-temannya, karena pemahaman yang sama seharusnya sudah diberikan saat anak berada dalam masa golden age di usia 2-3 tahun.” Bukankah saat itu ia tengah pintar-pintarnya? Jadi, kalau stimulasinya bagus di usia itu, anak akan tumbuh optimal menjadi cerdas. Jangan lupa, lo, meski kecerdasan bersifat herediter atau bawaan, namun tak akan menjadi optimal bila tak dibarengi dengan pemberian gizi yang baik dan stimulasi dari lingkungan.
BOLEH, KOK, MELARANG ANAK
Yang penting, dalam melarang harus disertai alasan jelas, sehingga ia tahu, ia bukan sekadar dilarang tapi ada hal-hal tertentu yang bisa mencelakakan dirinya ataupun orang lain. Misal, larangan main pisau, bisa dibarengi dengan memberi contoh memotong buah. Jelaskan, “Ade tak boleh main pisau karena pisau ini tajam dan bisa melukai tanganmu. Lihat, nih, Mama potong jeruk. Nah, terbelah, kan?” Anak pun jadi mengerti kenapa dirinya dilarang main pisau. “Dengan selalu mengemukakan reasoning , anak akan terlatih mengenali apa kesalahannya atau mengapa ia harus dimarahi orang tua,” terang Evi . Cara ini juga membiasakan anak belajar konsekuensi, “Saya nggak boleh melakukan ini karena berbahaya buat saya.”
Tapi kalau ia selalu dilarang, justru akan membuatnya jadi pembangkang. Coba, deh, perhatikan; semakin dilarang, anak seusia ini, kan, semakin nekat. Apalagi di usia 3 tahun, anak tengah mengembangkan negativismenya. Kalau dibilang “Kamu jangan main hujan ya,” ia malah akan main hujan-hujanan. Jadi, semakin kita melarang, ia justru akan melakukan hal-hal yang kita larang. Alangkah baiknya dalam melarang kita juga mengajaknya berpikir. Misal, “Kalau Ade main hujan, nanti gimana?”
Ia mungkin akan menjawab, “Sakit.” Nah, teruskan dengan pertanyaan, “Kalau sakit, nanti Ade bisa ikut jalan-jalan nggak sama Papa-Mama?” Pancing terus si anak hingga akhirnya ia sendirilah yang mengambil keputusan untuk tak main hujan. Dengan cara ini, bukan cuma larangan kita dipatuhi, anak pun jadi belajar berpikir kritis. Nah, mengembangkan kecerdasannya, kan?
SEDIAKAN MAINAN BERVARIASI
Salah satu bentuk stimulasi yang dianjurkan untuk meningkatkan kecerdasan adalah permainan edukatif. Lewat beragam permainan sederhana, anak terlatih perkembangan kognitifnya, kemampuan motorik kasar dan halus, maupun perkembangan intelegensinya. “Sebaiknya sediakan mainan bervariasi,” anjur Evi .
Selain agar anak tak cepat bosan, pilihlah yang memungkinkan anak dapat menemukan semua kebutuhannya akan fungsi tiap-tiap mainan tersebut. Soalnya, ada permainan yang melatih daya ingat melalui gambar-gambar, ada yang mengasah kreativitas, dan ada pula yang bisa mempertajam daya imajinasinya. Sega atau play station , menurut Evi, boleh-boleh saja. Asalkan dibatasi agar tak merusak mata dan menjadikan ketagihan. Selain bentuk permainannya juga harus disesuaikan usia anak. Kalau tidak, apa jadinya bila anak usia 2-3 tahun asyik menikmati kekerasan lewat permainan contra dan sejenisnya.
Melakukan berbagai permainan atau aktivitas bersama anak, juga penting untuk mengembangkan kecerdasannya. Misalnya, main kuda-kudaan, pasar-pasaran, atau loncat-loncat, dan sebagainya. Jadi, tak usah malu, ya, Bu-Pak, bila harus terlibat dalam permainan si kecil. Selain itu, beri kebebasan pada anak untuk memanjat atau melompat di tempat yang ia sukai. Bila Ibu-Bapak keberatan si kecil melompat-lompat di tempat tidur, ya, sediakan fasilitas yang memungkinkan ia tetap melakukan aktivitas tersebut.
Begitu pun bila keberatan si kecil corat-coret tembok, ya, beri fasilitas untuk kebutuhannya itu. Ulurkan kertas kecil atau besar seperti yang diinginkannya. Jika ia lebih suka corat-coret di tembok, sediakan tembok khusus untuk dicoreti atau tempelkan sejumlah kertas berukuran besar di salah satu bagian tembok. Jelaskan padanya, “Ade boleh corat-coret di sini tapi di tembok lain jangan, ya.” Pendeknya, kita tak boleh menghambat keinginan anak namun kita juga harus melatihnya bertanggung jawab untuk merapikan kembali mainannya atau benda-benda lain setelah ia usia melakukan sesuatu aktivitas.
ADE MAU LES MENYANYI
Banyak, lo, orang tua yang kelewat getol mengarahkan anak. Menurut Evi , tak ada salahnya bila si anak memang suka. “Yang harus diingat, orang tua hanya sekadar mengarahkan, bukan menyalurkan ambisi pribadinya. Mungkin malah positif bisa mengarahkan anak sedini mungkin. Misal, anak berbakat menyanyi, tentu akan lebih baik bila diikutkan dalam kursus olah vokal. Ini kalau anaknya suka, lo. Kalau tidak, ya, jangan dipaksa.” Jikapun si anak mau, kita juga perlu lihat-lihat lagi.
Soalnya, terang Evi, anak seusia ini cenderung akan bilang “mau” kalau ditawari les apa saja. “Dia hanya sekadar ingin tahu, ada apa, sih, di situ atau apa, sih, yang akan dia dapatkan.” Bukankah anak usia ini memang sedang ingin tahu apa saja? “Tapi dia belum ada pengertian jelas kalau ‘mau’ berarti harus ada tindak lanjut apa. Konsekuensi logis untuk setiap tindakan jelas-jelas belum dia pahami sama sekali.” Jadi, jangan salahkan si kecil, lo, Bu-Pak, kalau ia bilang mau tapi setelah beberapa kali ikut les lantas mogok.

Galau dari Sisi Psikologi

Galau, sudah tidak asing lagi didengar oleh kalangan remaja hingga dewasa awal. Bila diperhatikan, tidak jarang kita menemui status facebook atau twitter yang berisi kegalauan dari pemilik akun. Biasanya mereka menunjukkan kegalauan dengan status mengeluh, menunjukkan diri sedang resah, bingung, dan pikiran kacau. Bagaimana sebenarnya galau dilihat dari sisi psikologi? Apakah ini termasuk gangguan atau tidak?
Galau dalam KBBI memiliki persamaan kata dengan kacau pikiran, bimbang, bingung, cemas dan gelisah. Kata galau akan lebih tepat bila disebut bimbang, namun pengertiannya lebih pada arah bentuk kecemasan seseorang.
Kecemasan adalah perasaan tak nyaman berupa rasa gelisah, takut, atau khawatir yang merupakan manifestasi dari faktor psikologis dan fisiologis. Kecemasan dalam kadar normal merupakan reaksi atas stress yang muncul guna membantu seseorang dalam merespon situasi yang sulit.
Kecemasan dapat dimasukkan dalam teori psikoanalisis. Freud mengatakan kecemasan berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada.
  • Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada besarnya ancaman.
  • Kecemasan neurotik adalah rasa takut bila instink atau keinginan pribadi akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.
  • Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.
Galau adalah bentuk kecemasan, sedangkan status FB dan Tweet yang mereka ketik adalah bentuk perilakunya. Cara mengatasi kegalauan bukan hanya terkait dengan usaha menstabilkan diri, namun juga mengatasi masalah yang ada. Problem solving bisa dilakukan dengan cara:
  • Mengubah dorongan kecemasan pada bentuk perilaku lain yang lebih positif.
  • Carilah sesuatu bidang yang dapat membuat kamu bisa lebih berprestasi, diperhatikan, dan disukai.
  • Tekanlah perasaan itu dengan alasan yang rasional dan utarakan di waktu yang tepat.
  • Carilah sebab yang “masuk akal” untuk menjelaskan kenapa hal ini terjadi pada kamu, ini untuk menghindari kecemasan yang tanpa alasan realistis.
  • Cobalah untuk menceritakan pada orang lain perasaan dan masalah kamu agar lebih jelas sebab yang menimbulkan kecemasan itu.
Menggalau tidak masalah bila dilakukan dalam jumlah yang minim, namun tidak dapat ditoleransi bila dilakukan berkali-kali dan sangat sering dilakukan. Sisi positif dari perilaku galau adalah belajar mengakui kelemahan kita dan berpasrah diri atas apa yang sudah kita usahakan. Masih ada tuhan yang memiliki rencana dan kuasa atas segalanya.

10 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anda


Semua orang selalu berbicara tentang Emotional Intelligence (EI), dalam bahasa Indonesia biasa disebut intelegensi emosional atau kecerdasan emosional, tapi apa sebenarnya itu? Salah satu aspek penting dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami, mengendalikan dan mengevaluasi emosi – dalam diri sendiri dan orang lain – dan menggunakannya sebagai informasi yang tepat.
Sebagai contoh, kecerdasan emosional dalam diri sendiri dapat membantu Anda mengatur dan mengelola emosi Anda, sementara mengakui emosi orang lain dapat menciptakan empati dan keberhasilan dalam hubungan Anda, baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional.
Pada tahun 1990, psikolog Yale John D. Mayer dan Peter Salovey memunculkan istilah kecerdasan emosional, yang beberapa peneliti mengklaim bahwa ini adalah karakteristik bawaan, sementara yang lain menunjukkan bahwa Anda dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
Mungkin tidak semua dari anda memiliki psikoterapis untuk meningkatkan kecerdasan emosional anda, namun kini Anda bisa menjadi terapis sendiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Semua itu dimulai dengan belajar bagaimana untuk mendengarkan perasaan-perasaan Anda. Meskipun tidak mudah, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi Anda sendiri, namun ini adalah langkah pertama dan paling penting.
Norman Rosenthal, MD, seorang psychiatrist dan peneliti seasonal affective disorder menjelaskan dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, dikutip dari psychology today (5/1/12), berikut adalah 10 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional Anda:
  1. Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
  2. Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum sampai puncak.
  3. Lihat bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
  4. Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
  5. Dengarkan tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapatkan kekuatan nalar.
  6. Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
  7. Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
  8. Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran dengan perasaan Anda.
  9. Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam per minggu.
  10. Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.