Cari Blog Ini

Jumat, 09 Desember 2011

Fondasi Personal


Dalam sebuah tanya jawab di televisi, ada penelpon yang meresahkan kondisi masyarakat di mana kejahatan telah mengubah citra bangsa yang dikenal peramah; epidemi KKN yang tidak dapat diberangus oleh kekuasaan;  professionalitas dan etos kerja produktif hanya sebuah human talk, bukan human commitment. "Padahal", kata si penelpon "kurang apa lagi kita, warisan budaya leluhur telah banyak mengajarkan pemahaman berbasis agama maupun pengetahuan,  di samping juga negeri ini subur dan kaya sumber daya". Intinya, penelpon tadi menanyakan dimanakah letak Pancasila dalam kehidupan bangsa ini. 

“Benar", kata sang nara sumber menanggapi pertanyaan tersebut "tetapi memang masih ada kelemahan mendasar di tingkat gaya hidup masyarakat di mana sumber-sumber nilai masih dipahami secara parsial. Manajemen hanya dipahami ketika di dalam kantor, leadership hanya di politik, Tuhan hanya disanjung ketika di tempat ibadah, dan Pancasila saat upacara.  Inilah split personality, kepribadian yang tanpa format, kocar-kacir. Oleh karena itu perlu dicanangkan kampanye budaya gaya hidup sinergis dan  integrative melalui program pemberdayaan". Sayangnya, nara sumber tadi tidak diberi waktu untuk menjelaskan apa itu gaya hidup sinergis atau integrative dan bagaimana memulainya.

Tujuan Hidup


Pada umumnya kelemahan mendasar dari gaya hidup di sejumlah negara berkembang dan terbelakang adalah individu atau pribadi yang tidak memiliki tatanan personal yang kokoh dan lebih banyak menggunakan senjata blaming others atau kambing hitam, menuding pihak lain sebagai penyebab kekacauan, cenderung menunggu kebijakan atau undang-undang dari penguasa, sehingga perubahan di tingkat individu ke arah yang lebih baik sulit tercipta. Padahal jika saja individu mau menyadari bahwa akan selalu ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi suatu kondisi terburuk sekalipun, maka menuding pihak lain sebagai penyebab kekacauan mungkin dapat dihindarkan. 

Ralp Marston dalam artikel yang berjudul Choose Your Response (Greatday 2001), menulis "selalu tersisa pekerjaan yang bisa anda lakukan sebagai bagian dari solusi dalam keadaan apapun". Intinya ia mau mengatakan bahwa pasti ada sesuatu yang bisa anda lakukan untuk memperbaiki hidup anda sendiri. Kampanye nasional budaya gaya hidup sinergis dan integrative mungkin hanya merupakan kewenangan penguasa dan mungkin membutuhkan dana besar yang saat ini sangat sulit diperoleh. Oleh karena itu, mungkin saja penantian terhadap kampanye tersebut, kebijakan atau perpu hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia. Dengan kondisi demikian maka anda sebaiknya tidak menunggu apapun atau siapa pun untuk memperbaiki hidup anda. Mulailah dari dalam diri sendiri dan lakukan sekarang juga. Bentuklah tatanan pribadi anda dengan baik sehingga andamenjadi pribadi yang tahan uji dan mampu keluar dari berbagai krisis yang menimpa.

Pertanyaannya adalah apa yang dapat dijadikan dasar untuk memperkokoh tatanan pribadi atau pondasi personal dan darimana harus memulainya? Jawabnya adalah  dengan memiliki rumusan tentang tujuan hidup yang dipahami sebagai gaya hidup, komitmen atau karakter pribadi.

Definisi 


Dalam prakteknya, tujuan hidup diletakkan dalam satu keranjang sampah dengan khayalan, mimpi dan akivitas. Oleh karena itu anda perlu memahami definisi yang membedakannya secara jelas. Dalam  Reader’s Digest Oxford Dictionary dijelaskan bahwa goal (tujuan) adalah obyek personal yang menjadi sasaran utama suatu usaha atau cita-cita. Goal is destination, kawasan dimana kaki anda mendarat. Sementara dream (khayalan atau lamunan) adalah suatu gambar atau peristiwa yang melintas di alam fantasi pikiran anda - bukan sasaran [ Hillary Jones and Frank Gilbert, dalam Choosing Better Life, Oxford 1999].  Sementara aktivitas merupakan media dari goal atau destination. contoh: keberangkatan anda ke bandara untuk mereservasi tiket dengan memilih pesawat tertentu adalah aktivitas dan kota dimana anda akan berhenti itulah yang menjadi tujuan. 

Mengacu pada definisi di atas segera anda dapat menyimpulkan bahwa nilai hidup seluhur apapun ketika masih dipahami sebagai dream, maka tentu saja ia tidak bisa bekerja mengubah konstruksi realitas. Begitu juga aktivitas. Sangat mustahil membawa rumusan Paretto tentang kerja cerdas di mana 20 % effort mestinya menghasilkan 80 % required result ke dalam budaya kerja anda, selama anda memahami aktivitas sebagai tujuan. 

Alasan Mendasar


Ada tiga alasan mendasar, mengapa rumusan tentang tujuan hidup perlu anda miliki yaitu: kontrol diri, umpan daya tarik, dan sinergi kekuatan. Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang muncul secara tiba-tiba baik dari dalam atau ajakan dari luar, sesuatu yang mestinya tidak memiliki hubungan apapun dengan apa yang benar-benar anda inginkan tetapi menyita banyak energi, waktu dan pikiran. Itulah distraksi - sesuatu yang menggoda anda meninggalkan perhatian pada tujuan. Oleh karena itu diperlukan kontrol diri.     

Jika anda menyaksikan dunia ini bekerja, mengapa orang kaya malah gampang mendapat kekayaan, orang pintar gampang mendapat kedudukan, dst. Bukan nasib dalam pengertian gift tetapi daya tarik dalam makna achievement.  Bahkan mengapa orang yang sudah jahat merasa kesulitan untuk berbuat baik meskipun hanya dengan senyuman yang gratis? Tujuan yang telah anda rumuskan untuk membidik satu objek akan menarik anda secara 'tersembunyi'  ke arah yang anda maksudkan. Dengan satu syarat: setelah anda memiliki persiapan sempurna untuk menerimanya! 

Semua orang menggantungkan harapan kepada dunia yang bisa dikatakan sama: hidup terhormat, memiliki kemakmuran, meninggalkan warisan yang cukup, dan mati masuk surga. Sama sekali tidak salah dengan harapan itu, sebab semua manusia sudah diberi potensi dasar untuk mencapainya. Anda memiliki imajinasi, pikiran, tindakan, dan perangkat lain. Tetapi persoalannya, bagaimana menyatukan perangkat tersebut menjadi satu kekuatan utuh untuk mencapai sasaran? Tujuan yang telah anda rumuskan akan menjadi media efektif bagi anda untuk menyatukan seluruh kekuatan yang anda miliki.

Merumuskan


Dari sekian banyak referensi tekhnis tentang cara merumuskan tujuan hidup, anda dapat mengacu pada formula berikut:

1.  Konseptualisasi

Mulailah dengan menyusun rumusan secara tertulis tentang apa yang benar-benar anda inginkan. Rumusan tersebut selain tertulis di atas kertas putih, kertas pikiran, juga dinyatakan ke dalam bentuk kalimat positif. Lukislah tujuan anda dengan imajinasi untuk memberi otak kanan anda bekerja secara adil.

2.  Keterkaitan Rasional

Rumusan tersebut harus memiliki keterkaitan rasional dengan kemampuan dan keberadaan anda saat ini. Sebab jika tidak,  akan muncul masa frustrasi yang melelahkan.  Keterkaitan rasional adalah sesuatu yang attainable (paling mungkin diraih) berdasarkan kemampuan, keahlian dan kekuatan anda.

3.  Spesifik

Tujuan harus dirumuskan menjadi bentuk representasi padanan fisik yang khusus dan jelas. Tidaklah cukup hanya dengan menulis bahwa anda ingin kaya atau terhormat karena hal itu tidak memenuhi unsur kejelasan dan spesifik. Dengan kata lain, spesifik yang dimaksudkan disini adalah bahwa rumusan tujuan hidup anda harus memiliki tolok ukur (ada suatu standard yang ingin dicapai)dan measurable (dapat diukur sejauh mana perkembangan anda dalam mendekatakn diri pada tujuan).

4.  Bermakna

Tujuan hidup harus berupa sesuatu yang relevan dengan kondisi diri anda. Artinya sesuatu tersebut harus berupa objek yang berguna bagi anda.  Jika anda sedang menganggur, maka tujuan hidup yang paling bijak adalah mendapatkan atau menciptakan pekerjaan.

5.  Batas Waktu

Tulislah batas waktu yang jelas,  kapan tujuan hidup anda bisa dicapai dengan pentahapannya. Klasifikasikan tujuan hidup anda menjadi tiga: jangka pendek - menengah - jangka panjang.

Dengan memahami rumusan tekhnis di atas, bisa saja dielaborasi sesuai kepentingan, cobalah mengaplikasikannya ke dalam wilayah - wilayah sentral. Umumnya manusia memiliki sejumlah wilayah sentral tertentu: karir, keluarga, kesehatan fisik, format lingkungan yang anda pilih,  pengembangan SDM, kematangan spiritual dan moral,  status social dan budaya.

Realisasi


Untuk dapat merealisasikan tujuan hidup anda maka diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:

1.  Pentahapan

Jangan tergoda untuk menjalankan seluruh keinginan  sekali dalam satu projek hanya karena nafsu ingin cepat yang hakekatnya malah memperlambat. Pikiran anda hanya akan bekerja untuk satu objek tunggal yang spesifik. Yakinilah, jika anda bisa menyelesaikan persoalan dari bagian yang paling kecil berarti anda mampu menyelesaikan banyak hal yang besar. Persoalannya terkadang langkah pentahapan berdasarkan kemampuan yang sering anda lupakan. Kesuksesan dengan kata lain adalah proses realisasi ide-ide perbaikan secara terus-menerus berdasarkan pentahapan.

2.  Visualisasi

Visualisasi adalah membendakan sesuatu yang masih gaib melalui penglihatan mental. Lihatlah model rumah yang anda inginkan di kepala anda secara lengkap dengan taman atau letak kamar mandinya. Peganglah erat-erat, semua kreasi diciptakan melalui dua tahap, yaitu tahapan mental dan terakhir tahapan fisik. Visualisasikan sesuatu yang anda inginkan sampai benar-benar mengalami kristalisasi mental atau feel of becoming or having - merasakan seakan-akan anda sudah menjadi atau memiliki sesuatu yang anda inginkan. Berilah imajinasi anda bekerja untuk membantu bukan melawan anda.

3.  Inspirasi

Inspirasi adalah percikan ide-ide kreatif yang waktu dan tempatnya jarang anda kenali, kecuali anda sudah melatih-diri dengan pembiasaan. Inspirasi adalah akibat-hasil dari proses pengembangan diri.  Inspirasi merupakan penemuan momentum of "Aha!". Inspirasi dapat anda munculkan dengan ‘conditioning’. Caranya? Temukan momen khusus yang menjadi kebiasaan untuk membuka dialog-diri, misalnya tengah malam atau di kamar mandi, atau lain. Agendakan untuk bertemu kenalan tanpa konsekuensi atau interest apapun selain silaturrohim. Pelajari sebanyak mungkin prestasi yang dihasilkan.

4.  Target

Buatlah target pencapaian dari apa yang benar-benar anda inginkan. Memenuhi target bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama deadline matematis di mana anda menjadikan target sebagai tujuan mikro dengan waktunya yang detail. Kedua dengan cara kristalisasi mental di mana anda SEKARANG ini seakan-akan sudah merasakan vibrasi fisiknya dari apa yang anda inginkan. Jangan sekali-kali mengundang kehadiran virus "NANTI" karena ia seringkali menawarkan bujukan yang berarti tidak pernah terjadi. Dengan berpikir NANTI, anda telah kehilangan daya tarik ke arah "Menjadi" atau "Memiliki" saat ini.

5.  Keyakinan

Keyakinan menentukan karakter hidup terutama ketika anda menghadapi tantangan. Karakter sukses diciptakan dari keyakinan sukses dan begitu sebaliknya. Di tengah anda menjalani proses realisasi,  mudah sekali virus muncul dan hanya bisa dilawan dengan keyakinan anda. Virus itu adalah rasa ragu-ragu, pesimisme, rasa tidak berdaya melawan tantangan, rasa malas, rasa putus asa, dan pasrah terhadap kemauan realitas. Oleh karena itu, ciptakan keyakinan sukses dengan mendatangkan sejumlah alasan yang bisa diterima oleh keyakinan anda. 

6.  Kesadaran Proses

Kalau anda menyaksikan bahwa ada seseorang yang hanya  berjualan air putih bisa hidup mandiri tetapi kemudian anda dapatkan pemegang gelar akademik tidak mandiri, maka pembedanya tidak lain adalah kesadaran proses. Penjual itu telah menempuh proses yang memungkinkan terbentuknya sistem hidup mulai dari mana ia mengambil air lalu kepada siapa ia menjualnya, dst. Sistem bergerak stabil.  Keahlian, ketrampilan, atau ijazah akademik tidak bisa mengganti peranan proses oleh karena itu siapa pun anda, maka anda harus tetap menempuh tangga proses yang sudah menjadi undang-undang hukum alam.

7.  Interaksi

Anda tidak mungkin sukses meraih tujuan tujuan itu seorang diri. Ibarat baterai, sebesar apapun kandungan watt-nya maka selamanya tidak akan menciptakan cahaya selama tidak diinteraksikan dengan perangkat lain yang menjadi pasangannya. Sama juga dengan tujuan anda.  Seni bagaimana tujuan anda diinteraksikan kepada pihak lain yang menjadi pesangannya harus anda miliki. Mengapa seni itu diperlukan? Terkadang anda mencipatakan interaksi tujuan bukan dengan pasangannya sehingga melahirkan dua kemungkinan yaitu interaksi tersebut tidak bekerja atau malah merusak tatanan.

Uraian singkat di atas setidaknya bisa memberi gambaran bahwa ibarat mendirikan bangunan gedung, maka fondasilah yang pertama kali harus dipikirkan. Tak ubahnya juga dengan hidup anda. Jika anda sudah memahami bahwa setiap hari berpikir untuk mengubah tatanan konstruksi bagian atas, bahkan bisa jadi berniat untuk mengubah bangunan menjadi gedung bertingkat, sudahkah anda memikirkan tentang pondasi personal anda? Semoga berguna.

Membalik Hirarki !

Hirarki Maslow

Konon, sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu, sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik.
Seandainya itu benar-benar kejadian, maka yang paling bawah bukanlah kebutuhan fisik (fisiologis), melainkan aktualisasi-diri. Maslow menyesal karena teori yang sebenarnya dimaksud untuk memaparkan problema masyarakat saat itu, mengilhami orang-orang tertentu untuk menjadi tamak dan terus-terusan memikirkan kebutuhan fisiknya, kebutuhan ragawinya. Di sisi lain, seperti yang kerap kita dengar, teori ini juga banyak "dimanfaatkan" oleh orang-orang malas untuk menjustifikasi kemalasannya dengan alasan kebutuhan fisik.
Sebagaimana kita ketahui, Maslow mengeluarkan teori motivasi yang diasaskan pada kebutuhan manusia dalam bentuk gambar piramida (kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, aktualisasi-diri). Tak tahunya, teorinya ini bisa dibilang termasuk yang paling mashur dan telah dijadikan pedoman banyak orang.
Kalau membaca buku-buku manajemen yang beredar, ada sedikitnya tiga penjelasan dari teori Maslow itu.
Pertama, setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi. Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan lain-lain terpenuhi.
Kedua, setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa melewatinya.
Jika ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. Paling-paling dia akan jawab: "wong cari makan aja susah, masak diajak yang nggak-nggak. . ."
Ketiga, Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu: tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan pemenuhan dari faktor internal.
Mengapa Aktualisasi Diri?
Jika kita harus ikut setuju juga dengan keinginan Maslow itu, mungkin kita punya beberapa alasan di bawah ini:
Pertama, tidak ada teori buatan manusia yang punya kesempurnaan mutlak. Semua menjadi relatif, tergantung konteks, tergantung metode, tergantung objectives, dan tergantung pada variable. Seperti yang difirmankan kitab suci, kesempurnaan mutlak itu hanya milik Tuhan.
Kedua, atas nama eksplorasi dan eksperimentasi, apa dosanya juga kalau kita mau membalik piramida itu. Toh itu hanya untuk diri kita sendiri. Kalau pun salah, toh tidak ada aparat hukum yang menjebloskan kita ke penjara. Tidak ada kesalahan yang terlalu fatal di sini.
Ketiga, kandungan manfaat. Manfaat? Sesungguhnya, yang dituntut oleh kehidupan dari diri kita ini, adalah menunjukkan siapa diri kita. Di tempat kerja, kita dituntut untuk menunjukkan siapa diri kita. Di keluarga, kita dituntut untuk menunjukkan siapa diri kita. Di masyarakat, kita dituntut untuk menunjukkan siapa diri kita.
Pendeknya, kehidupan ini menuntut kita untuk melakukan proses aktualisasi diri dan kehidupan ini tidak mau peduli sudah sampai hierarki mana kini kita berada. Kenyataan hidup ini "masa-bodoh" dengan hierarki. Ini kalau kita merujuk pada pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan aktulisasi diri itu adalah:
"to realize fully one potential, to realize one mission, to realize the idea of becoming the best."
Artinya, dalam keadaan apapun dan dalam situasi apapun, kita tetap dituntut untuk mengaktualisasikan diri kita. Jika ini dikaitkan dengan motivasi untuk berprestasi, di tempat kerja atau di manapun, mungkin kepentingan kita untuk membalik piramida itu bisa dijelaskan antara lain:
1. Aktualisasi potensi
Kalau berbicara tentang potensi manusia, ini mungkin referensinya sudah sangat banyak. Profesor anu berbicara ada sekian kecerdasan yang terpendam dalam diri manusia. Profesor anu lagi berbicara ada sekian bakat yang terpendam. Profesor lain lagi berbicara ada sekian kompetensi dasar. Kitab suci berbicara betapa hebatnya manusia itu dan sekaligus berbicara betapa lemahnya manusia itu. Intinya, seperti kesimpulan Daniel Goleman, seberapa pun kecerdasan manusia itu bisa diungkap, yang sanggup diungkap itu hanya sebagian dan sekian.
Meski terkesan ada perbedaan yang cenderung sulit disepakati tentang "istilah"nya, tetapi semuanya sepakat untuk satu hal, yaitu: potensi manusia itu selamanya tidak akan berubah menjadi prestasi selama tidak diaktualisasikan. Maslow sempat bicara: "Saat ini juga Anda sudah berada di dalam posisi yang tepat untuk melakukan apapun. Di dalam diri Anda sudah terdapat kapasitas, bakat, misi, arah hidup dan panggilan yang menyadarkan."
Untuk mengaktualisasikan potensi menjadi prestasi, memang dibutuhkan banyak hal. Memang dibutuhkan banyak proses. Memang dibutuhkan banyak waktu. Memang dibutuhkan banyak uang. Memang dibutuhkan banyak fasilitas. Tapi, ini semua dibutuhkan setelah ada satu hal: munculnya motivasi dari dalam diri seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dipikir-pikir, katakanlah untuk kasus di Indonesia, ini lebih bermanfaat. Kalau kita menunda - bahkan menghentikan perjalanan meraih kebutuhan aktualisasi dengan alasan menunggu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya dalam Piramida Maslow itu, maka pertanyaannya bukan masalah benar atau salah, tapi kapan bisa tercapai. . . .?
Barangkali inilah yang ikut andil atas munculnya fenomena di mana kebanyakan kita tidak pernah tahu apa potensi dan keunggulan kita, apa kompetensi dan kecerdasan dasar yang kita miliki - sampai kita meninggal dunia, padahal katanya potensi yang kita miliki itu banyak sekali. Ini benar-benar paradoks !!!
2. Bukti diri
Memunculkan dorongan aktualisasi diri juga kita butuhkan saat menghadapi realitas yang brutal atau bertentangan dengan keinginan. Realitas semacam itu sama artinya dengan halang rintang. Meski realitas itu tak berbicara, tetapi sebetulnya ia menawarkan tiga pilihan: a) apakah Anda akan mundur, b) apakah Anda akan diam, dan c) apakah Anda akan tetap memutuskan untuk melangkah maju dengan mencari jalan lain.
Kita pilih yang manapun, sebetulnya itu pilihan kita. Tak ada orang lain yang punya ruang ikut campur di sini. Cuma, pilihan yang kita jatuhkan itu adalah bukti siapa diri kita. Jika kita memilih mundur, itulah bukti siapa diri kita. Meski kita sanggup mengungkapkan beribu dalih, tapi dunia ini akan tetap mencatat itulah bukti siapa diri kita. Itulah kita yang mundur. Sebaliknya, jika kita memilih maju dengan mencari jalan lain, itu pulalah bukti siapa diri kita. Meski tidak ada koran yang menulisnya tetapi dunia ini akan mencatatnya sebagai rapor (report).
Kaitannya dengan bahasan kita ini adalah, jika kita menjadikan terpenuhinya kebutuhan fisik, keamanan, sosial dan lain-lain sebagai pra-syarat yang kita tetapkan untuk memulai langkah maju, dengan berlindung di balik Piramida Maslow, tentu kasihan sekali konsep itu. Piramida itu dikeluarkan untuk memotivasi manusia supaya lebih maju, tapi kini disalahgunakan untuk men-demotivasi.
Hal lain yang lebih krusial adalah sikap dunia. Dunia ini tidak punya kebijakan yang berbasiskan perasaan, seperti iba atau kasihan atas dalih yang kita kemukakan. Ketika kita mengambil keputusan mundur, dunia ini membalasnya dengan kemunduran. Ketika kita mengambil keputusan diam, dunia ini membalasnya dengan stagnasi. Ketika kita mengambil keputusan maju, dunia ini membalasnya dengan progresivitas. Ini diberikan dengan tanpa memandang hierarki kebutuhan.
Jadi, kita kedepankan atau kita "simpan" masalah aktualisasi diri itu, pada akhirnya dunia ini tetap menuntut untuk diawalkan, di kedepankan, di utamakan. Suka atau tidak, siap atau tidak, memang sudah begitu garisnya. Ini kalau kita bicara minimalnya untuk dua konteks di atas. Adapun untuk konteks lain, bisa jadi akan lebih bermanfaat kalau Piramida itu diikuti, misalnya untuk memotivasi anak buah atau karyawan.
Penggoda Bernama Desakan "Kebutuhan"
Menurut petuah klasik orang-orang bijak, jika Tuhan harus lebih banyak mengingatkan manusia tentang kehidupan dunia yang membahayakan dan kehidupan akhirat yang lebih menjanjikan, itu bukan berarti kehidupan dunia ini tidak penting. Dunia ini tetap penting, terlepas kita menganggapnya penting atau tidak.
Peringatan terhadap dunia itu dikeluarkan berkaitan dengan "the nature" manusia. Secara insting, manusia lebih tertarik dengan kehidupan dunia, target jangka pendek, dan hasil yang langsung kelihatan dan bisa dilihat orang lain, sekaligus bisa dinikmati sekarang juga. Manusia, by nature, kurang tertarik dengan kehidupan akhirat, yang nanti, yang tidak kelihatan langsung, dan yang tidak bisa dinikmati sekarang.
Jika Tuhan lebih banyak mengingatkan keutamaan intelektual, emosional dan spiritual (kualitas manusia), dan lebih banyak mengingatkan bahayanya kekayaan, perhiasan atau penampilan, itu bukan berarti semuanya itu tidak penting bagi manusia. Tapi, ini karena, secara nafsu, manusia lebih tertarik untuk mengejar kemewahan dengan harta ketimbang mengasah intelektualnya atau emosionalnya. Manusia lebih tertarik menunjukkan kekayaannya (show-off) ketimbang tertarik untuk meng-amal-kan (sebagian) kekayaannya kepada orang lain.
Jika itu semua kita jelaskan dengan bahasa manajemen, mungkin kebutuhan dunia (jangka pendek, kelihatan langsung) atau kebutuhan fisik manusia itu selalu berada pada level "urgent" dalam diri manusia. Sementara, kebutuhan yang berjangka panjang, kebutuhan yang mengarah pada terbentuknya kualitas manusia, dan semisalnya selalu ditempatkan pada level "important".
Sayangnya, seperti pesan Covey, kebanyakan manusia lebih sering merasa terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan urgent-nya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang important. Covey menyebutnya dengan istilah keracunan desakan. Sebagai contohnya misalnya, adakah orang yang merasa terdesak untuk membaca buku, beramal, mengasah potensinya, dan semisalnya? Kalau pun ada, itu jumlahnya sedikit. Tapi, jika kita bertanya adakah orang yang terdesak untuk membeli teve terbaru, handphone terbaru, atau mobil keluaran baru, tentu ini jumlahnya terlalu banyak.
Kaitannya dengan motivasi berprestasi adalah, jika kita selalu menjadikan pemenuhan kebutuhan fisik (dalam pengertian yang luas), sebagai syarat mutlak untuk berprestasi, berkarya, berkreasi atau berbuat baik bagi manusia, kerapkali ini akan dikalahkan oleh dorongan kebutuhan yang tidak ada habisnya itu. Bahkan seringkali hanya berupa tipuan. Desakan kebutuhan fisik itu seperti air laut. Semakin banyak kita minum, semakin haus kita.
Karenanya, kepentingan kita untuk membalik piramida itu bukan untuk sebagai bahan menulis puisi bahwa Maslow telah gagal. Bukan untuk itu. Maslow telah "berijtihad" dengan kemampuannya dan untuk konteks tertentu masih tetap perlu dijadikan rujukan, misalnya untuk pimpinan organisasi. Kepentingan kita untuk membaliknya itu adalah agar kita tidak terjebak dalam upaya memenuhi kebutuhan fisik dan mengabaikan kebutuhan aktualisasi dengan berlindung di balik teori Piramida.
Dan lagi, kalau kita mau hitung-hitungkan sederhana, jika kita sudah mengaktualisasikan potensi yang kita miliki menjadi kumpulan prestasi yang terus bertambah dan mengaktualisaikan "siapa diri kita" dalam menghadapi realitas, masak sih kebutuhan fisik, kebutuhan sosial, dan lain-lain tidak terpenuhi sama sekali?

Faktor yang Mempengaruhi Motivasi


Beberapa faktor yang dapat mempngaruhi motivasi kelompok (teamwork) dalam bekerja dapat dikategorikan sebagai berikut:

Tujuan
Visi, misi dan tujuan yang jelas akan membantu team dalam bekerja. Namun hal tersebut belum cukup jika visi., misi dan tujuan yang ditetapkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan tujuan para anggota..
Tantangan
Manusia dikarunia mekanisme pertahanan diri yang di sebut "fight atau flight syndrome". Ketika dihadapkan pada suatu tantangan, secara naluri manusia akan melakukan suatu tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut (fight) atau menghindar (flight). Dalam banyak kasus tantangan yang ada merupakan suatu rangsangan untuk mencapai kesuksesan. Dengan kata lain tantangan tersebut justru merupakan motivator.
Namun demikian tidak semua pekerjaan selalu menghadirkan tantangan. Sebuah team tidak selamanya akan menghadapi suatu tantangan. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya memberikan suatu tugas atau pekerjaan yang menantang dalam interval. Salah satu criteria yang dapat dipakai sebagai acuan apakah suatu tugas memiliki tantangan adalah tingkat kesulitan dari tugas tersebut. Jika terlalu sulit, mungkin dapat dianggap sebagai hal yang mustahil dilaksanakan, maka team bisa saja menyerah sebelum mulai mengerjakannya. Sebaliknya, jika terlalu mudah maka team juga akan malas untuk mengerjakannya karena dianggap tidak akan menimbulkan kebanggaan bagi yang melakukannya.
Keakraban
Team yang sukses biasanya ditandai dengan sikap akraban satu sama lain, setia kawan, dan merasa senasib sepenanggungan. Para anggota team saling menyukai dan berusaha keras untuk mengembangankan dan memelihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan komunikasi langsung serta dukungan antara sesama anggota team.
Tanggungjawab
Secara umum, setiap orang akan terstimulasi ketika diberi suatu tanggungjawab. Tanggungjawab mengimplikasikan adanya suatu otoritas untuk membuat perubahan atau mengambil suatu keputusan. Team yang diberi tanggungjawab dan otoritas yang proporsional cenderung akan memiliki motivasi kerja yag tinggi.
Kesempatan untuk maju
Setiap orang akan melakukan banyak cara untuk dapat mengembangkan diri, mempelajari konsep dan ketrampilan baru, serta melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika dalam sebuah team setiap anggota merasa bahwa team tersebut dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan hal-hal tersebut di atas maka akan tercipta motivasi dan komitment yang tinggi. Hal ini penting mengingat bahwa perkembangan pribadi memberikan nilai tambah bagi individu dalam meningkatkan harga diri.
Kepemimpinan
Tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan faktor yang berperan penting dalam mendapatkan komitment dari anggota team. Leader berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi team untuk bekerja dengan tenang dan harmonis. Seorang leader yang baik juga dapat memahami 6 faktor yang dapat menimbulkan motivasi seperti yang disebutkan diatas. (Dari berbagai sumber)

Sang Waktu

Tak seorang pun tahu kapan "WAKTU" mulai bergerak
Dan entah kapan sang "WAKTU" berhemti berjalan
Yang pasti sampai detik ini "DIA" terus bergerak dan terus bergulir
Entah kita menghargai "WAKTU" dengan memanfaatkan sebaik-baiknya
Atau selalu menyia-nyiakan "WAKTU" dengan aktivitas yang tidak bermanfaat
... "DIA" tetap diam dan terus berjalan tanpa memihak kepada siapa pun
Tanpa membantu siapa pun
Tetapi "DIA" bernilai untuk siapa pun!!

"DIA" tidak pernah kalah dan tidak akan usang
"DIA" selalu baru, selalu segar dan tegar
Hanya kitalah sebagai manusia
Lambat atau cepat pasti akan termakan oleh proses sang "WAKTU"

"WAKTU" untuk kehidupan seorang anak manusia
Tidak lama dan sangat terbatas

Maka sepantasnya harus kita isi kehidupan ini
Dengan "PRODUKTIVITAS" yang sangat bermanfaat
Baik bagi diri pribadi dan bagi manusia-manusia lainnya
Kesadaran akan "NILAI WAKTU" harus selalu diingatkan
Dipelihara dengan rasa syukur yang besar terhadap "SANG PENCIPTA"
Dengan demikian kita akan menghargai nilai keberadaan "SANG WAKTU"
Dan nilai-nilai diri kita sebagai manusia sehingga kita akan
Selalu berusaha untuk dapat menikmati "PROSES WAKTU" itu
Dengan kualitas kehidupan yang makin lama makin indah
Nikmat, bahagia dan sangat berarti....

So, Nikmati "WAKTU"mu yang masih ada...!!!
Serta, Hargai "WAKTU"mu yang masih tersisa...!!!