Kemajuan peradaban selalu menawarkan ruang dialog untuk mencegah terjadinya konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan konsep atau persepsi. Ruang dialog itu dimaksudkan sebagai upaya menjembatani kompromi (kesepakatan sinergis) dari gap atau perbedaan. Ketika dialog menemui jalan buntu, maka kemungkinan yang paling dekat adalah gap komunikasi psikologis yang membikin kita tidak produktif atau lebih parah lagi konflik fisik seperti peristiwa di Aceh atau Papua di hari-hari ini. Kalau sudah terjadi konflik fisik, maka yang muncul adalah egoisme separatisme, bukan lagi kemaslahatan kedua belah pihak.
Belajar dari peristiwa yang terjadi di Aceh atau Papua, maka dalam skala paling kecil kita pun perlu membuka ruang dialog diri sebelum muncul konflik antara kita dengan diri kita sendiri. Konflik di dalam diri tidak saja menyebabkan separatisme psikologis akan tetapi berdampak pada kerusakan (penyakit) fisik. Juga, separatisme psikologis membuat hubungan kita dengan orang lain mudah tergores oleh ketersinggungan egoisme sebagai refleksi ketidakharmonisan internal. Pepatah bijak bilang: “ Penderitaan adalah effect dari pikiran yang salah arah sebagai indikasi ketidakharmonisan yang terjadi di dalam diri seseorangâ€.
Media Dialog
Media yang sudah lazim digunakan dalam dialog-diri adalah meditasi. Ada sekian cara yang dapat ditempuh untuk menjalani meditasi mulai dari yang diajarkan agama, tradisi atau pengetahuan tertentu (the art) seperti seni bela diri, dll. Tetapi cara meditasi yang paling ampuh (powerful) adalah cara yang kita temukan sendiri dan bebas dari lalu-lalang aturan formalitas dan kode konformitas. Sendiri di sini memiliki konotasi ‘penjiwaan personal’. Dari praktek yang sudah umum, meditasi dapat didefinisikan sebagai upaya menciptakan sarana menarik diri (baca: membebaskan-diri) dari hambatan yang membuat kita terasing dengan diri kita.
Tak pelak lagi, keterasingan demikian telah menyebabkan sensitivitas diri (self sensitivity) seseorang menjadi tumpul. Tidak dapat merasakan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya dan apa akibat yang dapat dimunculkan oleh pikiran, perasaan dan keyakinan tertentu. Tidak dapat mengidentifikasi bagaimana sesuatu terjadi dengan label masing-masing. Ketumpulan sensitivitas juga mengakibatkan orang tidak bisa mendengar apa yang disebut "inner critic" (baca: suara hati kecil). Orang lebih memedomani interpretasi permukaan yang salah akibat intuisi yang dimiliki tidak beroperasi.
Keterasingan dengan diri juga akan merenggut kenikmatan relaksasi mental padahal relaksasi mental adalah obat mujarab yang sudah dipraktekkan oleh sebagian orang berprestasi untuk mengundang inspirasi ketika kejumudan (Blokade Mental) melanda, sekaligus sebagai sarana mengundang ide kreatif / inovatif ketika kebosanan menyerbu. Sejarah mencatat, Edison adalah pakar praktisi relaksasi di mana dalam waktu 15 menit menjalani relaksasi, Edison sudah menemukan ide baru. Kecepatan Edison itu tidak bisa dipisahkan dari intensitas, kuantitas dan kualitas relaksasi sebagai latihan mental. Relaksasi mental juga digunakan Einstein untuk bervisualisasi sehingga dirinya sampai pada kesimpulan: "Fantasi atau imajinasi lebih bekerja di dalam dirinya ketimbang ilmu pengetahuan".
Relaksasi yang telah direnggut oleh kebiasaan hidup yang dinamakan oleh Covey dengan istilah "keracunan urgensitas" (the-must-do-activity) membuat diri kita bagaikan tong sampah dari masalah (problem). Di mana-mana timbul masalah. Di rumah bermasalah, di kantor bermasalah, di jalan pun bermasalah. Akibat sekian banyak masalah yang menyiksa akhirnya kita merasakan kelelahan mental dan tidak punya waktu lagi untuk bercengkrama dengan diri sendiri. Padahal seperti pepatah bilang, "Tak kenal maka tak sayang".
Keterasingan juga membuat kita kehilangan peluang untuk mengekspansi wilayah yang selama ini membatasi diri kita. Wilayah di sini lebih tepat dikatakan keyakinan yang dalam ungkapan lain disebut-sebut sebagai sumber arus (akar motif). Orang tidak dapat berbuat melebihi dari keyakinannya sebab perbuatan adalah aliran arus. Meditasi dapat berperan sebagai upaya menggali keyakinan yang telah terkubur di dalam lumpur yang dapat digunakan untuk mengubah diri.
Perlu diakui bahwa semua orang ingin mengubah-diri menjadi lebih baik. Hari ini lebih baik dari kemarin dan esok hari seharusnya lebih baik dari hari ini. Namun mengapa akhirnya tidak semua orang berhasil menjadi lebih baik? Salah satu penyebabnya adalah karena program perubahan diri yang dirancang kurang mengakar pada sumber arus. Artinya bisa jadi perubahan yang terjadi hanya karena ikut-ikutan atau didorong oleh motif permukaan yang sifatnya hanya mengikuti trend sementara. Program perubahan diri yang tidak (kurang) berakar pada motif pokok diibaratkan seperti orang malas yang tidak bergerak kalau tidak dipecut sehingga dirasakan berat sekali (beban). Bisa dibayangkan, sudah dirasakan beban ditambah lagi mengalami kegagalan. Akhirnya membuat orang malu atau putus dengan coretan agenda-diri yang tidak pernah berhasil.
Selain dapat menghilangkan keterasingan, meditasi juga merupakan sarana mengkukuhkan definisi-diri tentang "who we are". Selama ini definisi yang kita buat bergantung pada aktivitas, pekerjaan, atau pada definisi yang disodorkan oleh orang lain. Aktivitas, pekerjaan dan kondisi eksternal adalah variabel yang sarat dengan perubahan dan kalau hal demikian kita jadikan patokan untuk mendifinisikan who we are, maka konstruksi definisi-diri kita menjadi compang-camping tak berbentuk. Difinisi diri adalah ungkapan prinsip keyakinan (value), visi, dan tujuan yang terkadang perlu kita pisahkan (baca: selamatkan) dari hiruk-pikuk realitas temporer.
Dengan sekian alasan yang diuraikan di atas, maka meditasi seharusnya jangan kita gunakan hanya sebatas sarana untuk menghasilkan daftar dosa, kesalahan masa lalu, atau hukuman diri lainnya yang akan menyebabkan kita membuat kompensasi kebablasan dan mendorong pada rasa takut untuk berbuat. Meditasi adalah ruang memperkuat keinginan untuk memperbaiki diri (re-programme) guna mendekatkan se-obyektif mungkin antara diri yang kita persepsikan (perceived self), diri yang ideal (ideal self) dan diri yang riil (the real self). Ketidakdekatkan ketiga diri tersebut telah membuat kita mudah terperosok dalam lorong diri yang gelap - self-deceived (Carter McNamara: 1999).
Isi Dialog
Tak ubahnya seperti dialog yang terjadi antara RI & GAM. Di dalam dialog-diri harus tercipta situasi tanya jawab tanpa konsekuensi pada judgment. Tanya jawab itulah yang sering dikenal dengan istilah self questioning, yaitu upaya menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada diri kita. Telah sejak lama diakui, pertanyaan memiliki implikasi psikologis tertentu yang dapat digolongkan menjadi implikasi killer (pembunuh) atau implikasi miracle (mukjizat). Perbedaan keduanya, implikasi killer diperoleh dari pertanyaan destructive yang mengarah pada jawaban tanda seru (self-defeating), irrational thinking model untuk mendatangkan masa lalu, atau IF - clause thinking dalam menyikapi masa depan.
Untuk memahami lebih jauh tentang pertanyaan yang mengandung implikasi killer adalah ketika orang bertanya kepada dirinya (sadar / tidak sadar): "Kenapa saya dilahirkan tidak seberuntung orang lain?" Kata "kenapa" di sini tidak memiliki jawaban yang rasional. Selain itu, "kenapa" malah menambah rasa putus asa, powerless, hopeless, dan dapat membunuh proses nalarisasi, ekplorasi-diri untuk menemukan keunggulan. Pendek kata, killer adalah pertanyaan yang jawabannya tidak mendorong kita untuk meraih solusi atau mendapatkan potret definisi-diri yang lebih baik dan lebih maju. Pertanyaan itu bisa berbentuk variatif yang secara tidak sadar telah kita jadikan acuan / pedoman hidup.
Lebih-lebih kalau pertanyaan itu diambil dari pernyataan / ungkapan orang lain yang berbau pengadilan negatif tentang diri kita. Rasanya seperti tulisan yang terukir di atas batu. "The most damaging phrase in the language is 'It’s always been done that way' â€, kata Grace Hoper. Perkataan itu menggambarkan seseorang yang bertanya kepada dirinya / orang lain tentang sebuah maksud tertentu, lalu mendapat jawaban tanda seru: "Sudah pernah dilakukan dan hasilnya gagal!"
Implikasi miracle diperoleh dari pertanyaan constructive yang akan mendatangkan jawaban untuk menarik solusi. Kalau orang sehabis mengalami kegagalan lalu bertanya kepada dirinya, "Tindakan apalagi yang lebih cerdas untuk dilakukan", maka pertanyaan itu memiliki bobot psikologis yang mendorong orang tersebut untuk menjalani eksplorasi dari apa yang sudah diketahui atau belum diketahui (evolusi-diri). Umumnya, para pencipta prestasi besar dan kecil di alam raya ini tidak dapat dipisahkan dari upaya mengasah kemampuan mempertanyakan sesuatu untuk menjalani langkah inovatif dan kreatif.
Meditasi yang kita jalani dengan mengisi tanya jawab tentang kita dan dengan kita (self questioning) selain dapat mencairkan kebekuan dan memperkokoh definisi, pun juga dapat mempertajam kontrol-diri di mana kita akan secara otomatis dididik oleh kebiasaan untuk mengganti (to substitute) muatan negatif menjadi positif, atau melawan (to challenge) muatan negatif supaya kalah, atau membuat affirmasi (to affirm) muatan positif.
Sayangnya, kita dan sistem sosial yang kita masuki cenderung berorientasi pada jawaban. Kalau kita ditanya mengapa kegagalan menimpa, maka hampir dapat dipastikan jawabannya adalah menyangkut ketersediaan modal / alat. Memang jawaban tersebut tidak berarti salah tetapi ada logika hidup yang hilang di sini. Ketersediaan modal (perangkat) adalah jawaban pencapaian (achievement) dari pertanyaan yang mendorong seseorang untuk meraihnya. Kalau pertanyaannya justru menutup, menghalangi, tanda seru, maka jawaban itulah yang akan menjadi pertanyaan dan membentuk lingkaran setan pertanyaan. Kalau kita renungkan, ternyata jawaban dari seluruh persolan hidup yang kita miliki sekarang ini adalah hasil dari pertanyaan yang kita ajukan di masa lalu. Selamat merenungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar