Stres positif & stres negatif
Menurut
definisi yang dikeluarkan Canadian Centre for Occupational Health &
Safety (1997-2006), stres adalah tekanan dari luar yang bisa membuat
seseorang merasa tertekan. Tekanan yang digolongkan dapat membuat orang
stres adalah tekanan yang sifatnya mengancam (threaten), tekanan yang sifatnya menakutkan atau mengerikan (scare), tekanan yang sifatnya mengkhawatirkan (worry), tekanan yang sifatnya menyakitkan atau yang menusuk (prod).
Stres
semacam itu bisa terjadi dalam berbagai wilayah kehidupan. Karena itu,
istilah yang muncul pun beda-beda. Orang akan disebut stres finansial
kalau mengalami tekanan keuangan. Orang akan disebut stres keluarga (family stress)
apabila yang bersangkutan menghadapi perceraian, hubungan yang tidak
harmonis, dan mengalami berbagai kekacauan dalam rumah tangga. Orang
akan disebut stres kerja kalau yang bersangkutan menghadapi sekian
tuntutan atau tugas kerja yang tidak match dengan skillnya. Orang akan disebut stres hubungan kalau mengalami masalah dalam pergaulan. Dan seterusnya dan seterusnya.
Pertanyaannya
adalah, apa ada stres yang positif itu? Jujur perlu kita akui bahwa
kalau bicaranya soal "rasa", tentu tidak ada. Yang namanya stres itu
pasti rasanya tidak enak. Aspek positif dari stres itu akan kita temukan
kalau dilihat dari kegunaannya dan kesediaan kita dalam menggunakannya.
Berdasarkan dua hal inilah lalu muncul penjelasan bahwa stres akan
positif apabila:
Pertama,
kadarnya proporsional. Maksudnya di sini adalah tidak terlalu berat dan
tidak terlalu ringan. Bisa kita bayangkan sendiri kalau misalnya hidup
kita ini mulus-mulus saja, lancar-lancar saja, baik-baik saja. Biasanya
ini semua sangat berpotensi membuat kita merasa terlalu nyaman. Perasaan
terlalu nyaman ini kerap menjadi ancaman dinamika, progresivitas dan
kreativitas.
Sebaliknya
juga begitu. Kalau misalnya hidup kita terlalu banyak tekanan, himpitan
dan masalah, inipun mengancam. Terlalu banyak tekanan membuat pikiran
kita tidak bisa bekerja melihat celah yang mencerahkan. Terlalu banyak
himpitan membuat kita merasa sudah pantas untuk menyerah. Jika pikiran
dan perasaan ini tidak bisa diatasi, maka muncullah yang disebut
depresi. Jadi, terlalu sedikit stres itu sama buruknya dengan terlalu
banyak stres.
Kedua,
ada penyikapan yang konstruktif (membangun). Penyikapan di sini adalah
bagaimana kita meresponi tekanan-tekanan itu. Respon di sini biasanya
terkait dengan apakah kita akan melihat tekanan itu sebagai tekanan
ataukah kita melihatnya sebagai tantangan (challenge).
Tantangan adalah sesuatu yang mendorong kita untuk menjawabnya atau
melangkah maju dengannya. Ini beda dengan tekanan. Tekanan adalah
sesuatu yang menghimpit.
Dengan
melihat tekanan itu sebagai tantangan, maka secara fungsi bisa
dikatakan bahwa stres di situ positif buat perkembangan kita. Salah satu
yang positif adalah bertambahnya kepercayaan-diri. Kalau misalnya kita
sudah sanggup membuktikan keberhasilan yang kita raih dalam menjawab
tantangan itu, ini akan memunculkan kepercayaan-diri yang lebih tinggi.
Dengan
menajwab tantangan itu kita akan mendapatkan pengetahuan tentang
kemampuan kita. Semakin akurat pengetahuan kita tentang kemampuan yang
kita miliki berarti semakin baguslah kepercayaan kita pada diri kita.
Orang yang masih sering tidak pede dalam menghadapi persoalan
hidup bukan berarti tidak punya kemampuan. Yang sering terjadi adalah
kurang mengetahui secara akurat kemampuannya. Untuk mengetahui secara
akurat ini memang caranya adalah dengan melakukan langsung.
Ketiga,
ada proses transformasi yang kita tempuh. Transformasi yang saya
maksudkan di sini adalah kemampuan mengubah energi potensial yang semula
negatif menjadi energi aktual yang positif. Max More (1993) mengatakan,
transformasi adalah sebuah proses yang dapat meningkatkan “personal extropy†(kapasitas untuk berkembang).
Sebagai
contoh katakanlah kita gagal sampai menimbulkan stres. Jika kegagalan
itu kita terima sebagai kegagalan dan kita biarkan kegagalan itu berlalu
begitu saja, biasanya ini malah mendera kita dengan berbagai tekanan
dan derita. Tapi bila peristiwa buruk itu kita jadikan sebagai materi
untuk memperbaiki diri, maka hasilnya menjadi positif meskipun itu tidak
langsung terasa dan terjadi. Sudah banyak orang yang sanggup melakukan
transformasi atas penderitaan berat yang dialaminya menjadi out-put yang
menggembirakan.
Mengelola Stresor
Saking sulitnya orang hidup itu menghindari datangnya stresor, sampai-sampai ada pernyataan yang
bunyinya begini: "Hanya kematian yang bisa mengakhiri stres". Ungkapan
ini tentu maksudnya adalah untuk mengajak kita berpikir secara lebih
sehat terhadap stresor. Artinya, karena kita tidak bisa menghindari munculnya stresor maka yang dibutuhkan di sini adalah mengelolanya supaya jangan sampai merusak, minimalnya begitu.
Nah, langkah-langkah pengelolaan yang mungkin bisa kita lakukan itu antara lain:
Pertama,
ketahui dan sadari (kontrol). Sepintas ini memang tampak sepele tapi
sebetulnya di sinilah dimulainya langkah awal untuk mempositifkan stres
itu. Tahu di sini artinya kita sudah mengantongi pengatahuan bahwa stres
itu bisa kita gunakan untuk memperbaiki diri asalkan mau
menggunakannya. Sadar di sini artinya kita benar-benar ingat bahwa stres
itu perlu kita gunakan untuk memperbaiki diri.
Kebanyakan
kita tidak sanggup menggunakan stres untuk hal-hal yang positif karena
tidak sadar, lengah, lupa atau tidak bisa mengontrol diri. Jika itu
berlangsung sebentar (respondent), mungkin bisa dibilang manusiawi, tapi bila sudah berlangsung terlalu lama dan sudah sampai menimbulkan distress atau depresi, tentu ini terkait dengan kemampuan kita dalam menyadari dan mengontrol diri.
Tahu,
sadar atau kontrol di sini menjadi elemen penting karena dengan inilah
kadar proporsionalitas stres itu menjadi relatif lebih terjaga. Ini
terkait dengan apa yang sudah kita bahas di poin pertama di atas. Untuk
memproporsionalkan kadar stres itu dibutuhkan kontrol batin atau emosi. Stresor yang kadarnya kecil bisa menjadi besar (liar) apabila batin kita tidak terkontrol. Sebaliknya, stresor yang kadarnya besar masih mungkin dibuat tidak besar asalkan batin kita terkontrol.
Kedua, belajarlah membedakan "CUA". Akronim ini saya pinjam dari berbagai penjelasan tentang kepribadian. C adalah Change (berubah) , U adalah Unchange (tetap), dan A adalah Avoid (hindari). Bisa dibilang ini merupakan syarat untuk bisa menyikapi datangnya stresor itu secara lebih konstruktif.
Dengan
perspektif yang lebih luas bisa kita katakan bahwa adakalanya stresor
itu berupa sesuatu yang masih bisa kita ubah dan adakalnya berupa
sesuatu yang tidak bisa / sulit diubah, entah karena memang tidak bisa
sama sekali atau belum mampu untuk saat ini. Terkadang stres itu timbul
karena kita ingin mengubah sesuatu yang tidak bisa diubah atau ingin
mengubah sesuatu yang sebetulnya secara kemampuan belum kita miliki
untuk mengubahnya saat ini.
Ini
biasanya memunculkan pengabaian terhadap hal-hal yang masih bisa kita
ubah dan itu ada di depan mata kita. Contoh yang masih bisa diubah
adalah planning kita di hari esok untuk menciptakan solusi dan
antisipasi yang lebih baik, emosi kita, sikap kita, respon kita, dan
lain-lain. Sedangkan contoh stresor yang sudah tidak bisa diubah adalah
tekanan-tekanan yang sudah terjadi di masa lalu. Ini bisa kita kiaskan pada hal-hal lain yang lebih luas.
Selain
perlu membedakan antara C & U itu, yang tak kalah pentingnya adalah
melakukan A (penghindaran / antisipasi). Jika kita tidak ingin didera
oleh berbagai stresor, maka hindarilah hal-hal yang berpotensi memunculkan stresor.
Jadi intinya, ubahlah apa yang masih bisa diubah atau memang harus
diubah, jangan mengubah sesuatu yang memang tidak bisa diubah atau sulit
diubah saat ini, lalu hindari hal-hal yang berpotensi menimbulkan
stres.
Ketiga,
tangkaplah sebagai signal untuk berubah. Ini adalah langkah awal untuk
melakukan proses transformasi itu. Jika kita ingin memperbaiki diri dari
munculnya stresor, maka pertanyaan yang perlu kita munculkan
adalah, perubahan positif seperti apakah yang perlu terjadi di dalam
diri saya supaya keadaan hidupa saya lebih baik?
Supaya
perubahan itu tidak sekedar "semangat", sangat disarankan untuk membuat
sasaran yang jelas (apa yang hendak kita raih), program-program yang
jelas (apa saja yang perlu kita lakukan), dan tahapan-tahapannya yang
riil (sanggup kita jalankan hari ini dengan resources yang kita miliki).
Yang umum terjadi, bila ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan hidup
kita, entah itu stresor atau lainnya, itu bisa kita tangkap sebagai
petanda bahwa kita perlu berubah. Menyadari hal ini akan mendorong
proses transformasi.
Menurut teori kompetensi, langkah di atas merupakan elemen mendasar untuk mengajarkan / meningkatkan kompetensi orang dewasa (Competence At Work, 1993). Biasanya disebut dengan istilah Self-Directed Change Theory (SDCT).
Teori ini mengajarkan tentang bagaimana kita bisa mengubah diri ke arah
yang lebih baik dari kenyataan hidup yang kurang mendukung, katakanlah
semacam stres.
Menurut teori itu, orang dewasa akan berubah kalau berada dalam kondisi di bawah ini:
· Merasa tidak puas dengan kondisi aktual yang dihadapi (actual)
· Punya gambaran yang jelas tentang kondisi ideal yang ingin diraih (ideal)
· Punya konsep yang jelas tentang apa yang akan dilakukan untuk bergerak dari kondisi aktual menuju kondisi ideal (Action Step)
Intinya, stres apa saja bisa kita jadikan tool
untuk memperbaiki diri asalkan mau menggunakannya. Mungkin efeknya ada
yang langsung dan ada yang tidak langsung terjadi atau terasa. Ini lebih
positif dibanding jika kita hanya di-stres-kan oleh berbagai stresor.
Career Resilience
Untuk
orang yang bekerja, berkarir atau menekuni profesi apa saja, kemampuan
mengelola stres itu menjadi penting. Alasannya sangatlah nyata di depan
kita. Tidak mungkinlah pekerjaan, karir atau profesi yang kita tekuni
itu menyediakan sebuah kondisi yang ideal selamanya dan setiap waktu.
Justru yang sering dimunculkan adalah kondisi-kondisi yang kurang ideal atau sumber stresor.
Karena itu, banyak ide dari para pakar di bidang karir yang menyatakan bahwa syarat kemajuan karir itu adalah resilience (ketangguhan). Rutter (1987) mendifinisikan “resilience†ini sebagai
sebuah kutub positif dari perbedaan individu dalam meresponi stres atau
penderitaan. Ini berarti bahwa menjadi orang yang resilient atau tidak,
itu murni pilihan kita, bukan bawaan. Siapapun kita dan apapun latar
belakang kita, sama-sama punya kesempatan yang sama untuk menjadi orang
yang resilient asalkan mau belajar.
Ciri-ciri umum orang yang resilient ini, menurut Fox (1995), antara lain:
§ Mereka memilih keputusan untuk melangkah maju. Mereka menghindari keputusan untuk berhenti atau mundur (stepping forward).
§ Mereka punya kemampuan dalam menyerap pelajaran positif di balik kekacauan (learning from chaos)
§ Mereka punya kemampuan dalam menyeleksi materi yang ditekuninya (selective learner).
§ Mereka
berpikir dalam konteks peluang, kemampuan, kemungkinan dan menjauhi
pikiran-pikiran tentang keterbatasan, kekurangan, atau ketidakmampuan (opportunity and possibility approach)
§ Mereka punya dorongan untuk menghasilkan perbedaan yang unik (creative people).
§ Mereka memunculkan banyak alternatif dan opsi untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (explorer people)
§ Mereka punya keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu untuk mewujudkan apa yang diinginkan (the "I can" mental attitude)
Nah,
penjelasan di atas bisa kita jadikan salah satu acuan dalam praktek
sehari-hari. Ada ungkapan Abraham Moses yang mungkin penting untuk
diingat: "Anda
harus mempersiapkan diri dalam dunia kerja yang terus berubah.
Satu-satunya yang bisa anda andalkan adalah keahlian, fleksibilitas, dan
kapasitas dalam beradaptasi dengan perubahan" Mudah-mudahan ini bisa kita praktekkan.